DOA BERPUSATKAN TUHAN


Salah satu kitab kekristenan yang tertua sesudah kitab Perjanjian Baru adalah kitab yang biasa disebut sebagai Didache yang artinya Ajaran. Kitab ini aslinya ditulis dalam bahasa Yunani dengan nama lengkapnya yaitu Didachē kyriou dia tōn dōdeka apostolōn tois ethnesin atau “Ajaran Tuhan untuk Bangsa-bangsa oleh Dua Belas Rasul”. Ia ditulis sebelum tahun 100 M. Sampai hari ini orang tidak mengetahui nama dari penulis kitab ini. Hanya saja para Bapa-bapa gereja seperti Eusebius pada tahun 324M sudah menulis tentang keberadaan kitab Didache ini. Sesuai dengan namanya, kitab yang terdiri dari enam belas pasal ini berisi pengajaran-pengajaran ringkas yang antara lain memberikan gambaran kepada kita tentang bagaimana gereja mula-mula menjalan kehidupan ibadahnya. Salah satunya disebutkan tentang bagaimana orang Kristen pada zaman itu harus melakukan doa dan puasa. Sebagai contoh dituliskan di sana tentang anjuran kepada para pengikut Kristus untuk mengucapkan doa Bapa Kami tiga kali per hari.


Apabila kita memperbandingkan naskah doa Bapa Kami di dalam pasal kedelapan dari kitab Didache dengan catatan doa yang sama yang diajarkan Tuhan Yesus dan ditulis di dalam Matius 6:9-13 serta Lukas 11:2-4, nampak bahwa naskah Didache sama dengan catatan di dalam Injil Matius. Hal ini dapat dimengerti karena catatan doa Bapa Kami di dalam Matius lebih bersifat sebagai suatu liturgi doa dibandingkan dengan yang ditulis di dalam Lukas.


Hal ini dapat dilihat dari perbedaan pengalimatan dalam kedua catatan tersebut. Walaupun pada dasarnya isi doa yang Yesus ajarkan dan dicatat di dalam Matius 6:9-13 tidak berbeda dengan yang ditulis di dalam Lukas 11:2-4, namun kalimat-kalimat yang ditulis di dalam Matius terasa lebih enak untuk dibaca secara lisan dibandingkan dengan yang ditulis di dalam Lukas. Hal itu menunjukkan bahwa catatan doa Bapa Kami di dalam Injil Matius lebih dimaksudkan sebagai kalimat yang diucapkan dalam ibadah. Karena itu tidaklah mengherankan apabila kitab Didache yang mengajarkan tata cara ibadah menggunakan naskah doa Bapa Kami dalam Matius 6:9-13.


Matius 6:9-13


9 Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu,  10 datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.  11 Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya  12 dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;  13 dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.).




I.            Tuhan yang empunya Kerajaan


Karena naskah dalam Injil Matius dimaksudkan untuk dibaca dalam ibadah, itu sebabnya pula para penyalin Kitab Perjanjian Baru di kemudian hari menambahkan kalimat penutup doa pada Matius 6:13. Kalimat penutup tersebut berbunyi: “Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.” Memang tanpa adanya kalimat penutup ini maka doa Bapa Kami yang ditulis di dalam Matius akan terasa berakhir secara mendadak, sebab ia ditulis di dalam dan sebagai bagian dari khotbah Yesus yaitu Khotbah di Bukit.


Kalimat tersebut disimpulkan sebagai penambahan redaksional oleh para penyalin Kitab Perjanjian Baru sebab ia tidak terdapat pada naskah-naskah Injil Matius yang lama. Selain itu walaupun naskah doa Bapa Kami dalam Didache menggunakan kalimat penutup yang hampir identik dengan yang ditulis di dalam naskah Matius 6:13, namun kutipan doa Bapa Kami yang ditulis oleh tokoh gereja seperti Tertulian dan Origen pada awal abad ketiga tidak menyebutkan kalimat penutup ini.


Penambahan kalimat penutup ini tidak mengganggu keotentikan dari isi doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Yesus, sebab nampak bahwa kalimat penutup tersebut disusun berdasarkan nyanyian Daud yang dicatat di dalam 1Tawarikh 29:11-13 sebagai berikut: “Ya TUHAN, punya-Mulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi! Ya TUHAN, punya-Mulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya sebagai kepala. Sebab kekayaan dan kemuliaan berasal dari pada-Mu dan Engkaulah yang berkuasa atas segala-galanya; dalam tangan-Mulah kekuatan dan kejayaan; dalam tangan-Mulah kuasa membesarkan dan mengokohkan segala-galanya. Sekarang, ya Allah kami, kami bersyukur kepada-Mu dan memuji nama-Mu yang agung itu.”


Isi pujian Daud yang menjadi dasar dari kalimat penutup doa Bapa Kami ini mempertegas bahwa doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Yesus merupakan doa yang berpusatkan kepada Tuhan atau God Centered berbeda dengan doa orang Farisi yang berpusat kepada diri sendiri. Itu sebabnya seperti kata Tuhan Yesus bila berdoa orang Farisi akan berdiri di tikungan jalan dan berdoa secara bertele-tele supaya dilihat dan dipuji orang.


Sedangkan doa yang Yesus ajarkan diawali dengan hati yang dipenuhi dengan perhatian terhadap nama Tuhan, kerajaan Tuhan dan kehendak Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa doa seorang pengikut Kristus haruslah diwarnai dengan tujuan untuk memuliakan Tuhan serta kerinduan agar kehendak Tuhan tergenapi, dan bukan untuk  memuliakan diri sendiri serta keinginan agar kehendak manusia yang terwujud.


Karena itu pengutipan 1Tawarikh 29:11-13 sebagai penutup doa Bapa Kami menggaris bawahi sikap doa yang God Centered atau berpusat kepada Tuhan. Sebab di sana disebutkan tiga pengakuan atau confession. Yang pertama bahwa Tuhanlah yang empunya Kerajaan. Di dalam 1Tawarikh 29:11-12 hal tersebut dikatakan sebagai berikut: “Ya TUHAN, punya-Mulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya sebagai kepala. Sebab kekayaan dan kemuliaan berasal dari pada-Mu.”


Kalimat ini merupakan suatu pernyataan bahwa Tuhan adalah Sang Raja, pemegang otoritas tertinggi yang berkuasa atas seluruh alam semesta. Berarti dengan demikian setiap pengikut Kristus harus mengakui bahwa Tuhanlah kepala dan sumber dari segala yang baik yang memegang wewenang atas kehidupannya. Oleh karena itu bukan kehendak yang bersangkutan yang harus terjadi, tetapi kehendak Tuhanlah yang harus terlaksana.


Inilah perbedaan antara doa yang benar dengan doa yang munafik. Doa orang yang munafik bukanlah didasari oleh penyerahan diri kepada kehendak Tuhan, tetapi justru didorong oleh keinginan memaksakan kehendaknya kepada Tuhan. Yang bersangkutan beranggapan bahwa ia dapat memaksa Tuhan dengan doanya. Tak jarang orang yang berpendapat seperti itu akan berkata: “Mari kita berdoa sampai Tuhan tidak memiliki pilihan lain kecuali harus menjawab doa kita.”


Sikap doa yang semacam ini bukannya menempatkan Tuhan sebagai Raja yang kepada-Nya kita datang memohon. Tetapi justru kita yang menempatkan diri sebagai raja dan Tuhan sebagai hamba kita yang harus melakukan keinginan kita dan bila perlu kita memaksa diri-Nya untuk harus tunduk kepada kehendak kita. Itulah doa orang yang munafik, sebab sikap hatinya bertolak belakang dengan hakekat doa. Sebab pada hakekatnya doa merupakan suatu sikap penyerahan diri dalam kerendahan hati dan sikap menggantungkan diri kepada Tuhan.


Oleh karena itu di dalam berdoa bukannya Tuhan yang harus menyesuaikan diri dengan kehendak kita, tetapi kitalah yang harus menyesuaikan kehendak diri kita dengan kehendak-Nya. Sehingga di dalam berdoa kita bukan hanya berbicara kepada Tuhan tetapi kita juga membuka telinga hati kita untuk mendengar apa yang Tuhan inginkan dan menyesuaikan doa kita dengan kehendak Tuhan tersebut. Berarti dengan demikian maka sesungguhnya doa merupakan komunikasi dua arah, dimana sebagai orang yang memohon kita mencurahkan isi hati kita kepada Tuhan dan pada saat yang sama kita membuka hati untuk mendengar tuntunan-Nya bagi diri kita.




II.            Tuhan yang empunya kuasa


Pengakuan atau confession yang kedua yaitu Tuhan adalah yang empunya kuasa. Di dalam 1Tawarikh 29:12 dikatakan demikian: “Dalam tangan-Mulah kekuatan dan kejayaan; dalam tangan-Mulah kuasa membesarkan dan mengokohkan segala-galanya.” Di dalam pengakuan ini tersirat penyataan ketidak berdayaan manusia dan kemaha-kuasaan Tuhan.


Keyakinan inilah yang menjadi salah satu dasar dari doa, sebab oleh karenanya orang datang dengan iman kepada Tuhan. Iman atau keyakinan bahwa Tuhan adalah pribadi yang kuasanya tidak terbatas sehingga dengan demikian tidak ada hal yang mustahil bagi Tuhan. Bagi Dia tidak ada masalah yang sukar atau terlalu besar sehingga Ia tidak sanggup untuk menyelesaikannya. Sebaliknya Ia mampu membesarkan dan mengokohkan segala-galanya.


Kebesaran kuasa Tuhan ini mengakibatkan orang datang kepada-Nya tanpa keraguan ataupun kekuatiran. Apabila Ia mau pasti Ia mampu melaksanakan permohonan doa kita. Apabila Ia bersedia pasti Ia bisa mengabulkan kerinduan hati kita. Oleh karena itu di dalam berdoa kita tidak lagi mempertanyakan apakah Tuhan mampu menjawab doa kita, tetapi kita bertanya kepada diri kita sendiri: “Sudahkah permohonanku sesuai dengan kehendak Tuhan sehingga Ia mau mengabulkan doaku?”




III.            Tuhan yang empunya kemuliaan


Pengakuan yang ketiga yaitu bahwa Tuhan adalah yang memiliki kemuliaan untuk selama-lamanya. Di dalam 1Tawarikh 29:11 dikatakan sebagai berikut: “Ya TUHAN, punya-Mulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi.”


Di dalam pengakuan ini kita menyatakan bahwa bukan kitalah yang patut dimuliakan, tetapi Tuhan. Bukan kitalah yang patut menerima kehormatan, tetapi Tuhan. Bukan kitalah yang patut menerima kemasyhuran, tetapi Tuhan. Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa kita menyadari apabila kita mengalami keberhasilan maka itu adalah karena Tuhan, bukan karena kehebatan kita. Karena itu bukan kitalah yang patut menerima pujian, tetapi Tuhanlah yang patut dipuja.


Karena itu doa bukanlah suatu pameran kesalehan hidup seperti yang dilakukan oleh orang-orang Farisi dengan tujuan agar orang melihat dan memuji-muji dirinya. Di dalam doa kita berbicara kepada Tuhan, bukan berbicara kepada orang yang mendengar doa kita. Bila kita sadar bahwa kita sedang berbicara kepada Tuhan maka kita tidak akan berupaya untuk membuat diri-Nya terkagum-kagum kepada kehebatan kita. Tetapi bila di dalam doa kita berbicara kepada orang yang mendengar doa kita, kemungkinan besar kita akan berupaya membuat mereka merasa takjub terhadap diri kita.


Doa yang berpusat kepada Tuhan, di mana kita tidak menjadikan diri kita dan kehendak kita sebagai pusat, tetapi kehendak dan kemuliaan Tuhan sebagai yang utama inilah yang akan mengubah kehidupan kita, yaitu semakin selaras dengan hati Tuhan. Doa yang sedemikianlah yang merupakan doa yang efektif. Doa yang seperti itulah yang akan mengundang jawaban Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar