KEPEMIMPINAN YANG MENGHAMBA


Servant Leadership atau Kepemimpinan yang Menghamba merupakan salah satu buku kepemimpinan yang paling berpengaruh di dunia. Buku yang ditulis oleh Robert Greenleaf , mantan salah satu pemimpin dari perusahaan raksasa telekomunikasi AT&T ini telah menjadi acuan dari ratusan perusahaan dan organisasi di dunia, seperti misalnya Asian Development Bank, dan Southwest Airlines, dalam pengembangan kepemimpinan di lembaga tersebut. Bukan itu saja, sejumlah perguruan tinggi yang ternama di Amerika juga telah membuka jurusan Servant Leadership di dalam program pendidikan mereka.

Tentang makna Kepemimpinan yang Menghamba, Robert Greenleaf mendefinisikannya sebagai berikut: “The servant-leader is servant first… It begins with the natural feeling that one wants to serve, to serve first.” Seorang pemimpin yang menghamba adalah pertama-tama bertindak sebagai seorang hamba. Hal ini dimulai dengan perasaan yang alamiah bahwa ia ingin melayani, melayani sebagai hal yang terutama.

Lee Iacocca merupakan contoh dari seorang pemimpin yang menghamba. Pada saat ia bergabung sebagai pimpinan Chrysler Corporation di tahun 1978 perusahaan produsen mobil ini sedang mengalami kemerosotan dan menjelang bangkrut. Hutang perusahaan ini semakin bertumpuk dan angka penjualan yang semakin menurun. Semangat kerja para karyawan juga dalam keadaan ambruk.

Langkah pertama yang diambil oleh Lee Iacocca adalah menurunkan gajinya sendiri menjadi satu Dollar per tahun. Padahal sebelumnya ia adalah pimpinan perusahaan produsen mobil Ford, yang saat ia tinggalkan menghasilkan keuntungan 1,8 Milliar Dollar per tahun. Kerelaan untuk berkorban dari Lee Iacocca ini memperoleh sambutan yang sangat positif dari para karyawan Chrysler. Semangat kerja mereka pulih. Mereka mendukung upaya pembenahan yang ia lakukan. Akibatnya lima tahun kemudian Chrysler berhasil membayar seluruh hutang-hutangnya. Bahkan pada tahun 1992, saat Lee Iacocca pensiun dari Chrysler, perusahaan tersebut mampu menguasasi 16 persen dari pasar mobil di Amerika, dua kali lipat dibandingkan saat ia memasuki perusahaan tersebut.

Prinsip kepemimpinan yang menghamba ini pulalah yang dapat kita lihat di dalam diri perwira tentara Romawi yang memohon pertolongan Yesus untuk menyembuhkan hambanya seperti yang dicatat di dalam Lukas 7:1-10. Prinsip-prinsip ini akan sangat menolong kita untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif.

Lukas 7:1-10

1  Setelah Yesus selesai berbicara di depan orang banyak, masuklah Ia ke Kapernaum.  2 Di situ ada seorang perwira yang mempunyai seorang hamba, yang sangat dihargainya. Hamba itu sedang sakit keras dan hampir mati.  3 Ketika perwira itu mendengar tentang Yesus, ia menyuruh beberapa orang tua-tua Yahudi kepada-Nya untuk meminta, supaya Ia datang dan menyembuhkan hambanya.  4 Mereka datang kepada Yesus dan dengan sangat mereka meminta pertolongan-Nya, katanya: "Ia layak Engkau tolong,  5 sebab ia mengasihi bangsa kita dan dialah yang menanggung pembangunan rumah ibadat kami."  6 Lalu Yesus pergi bersama-sama dengan mereka. Ketika Ia tidak jauh lagi dari rumah perwira itu, perwira itu menyuruh sahabat-sahabatnya untuk mengatakan kepada-Nya: "Tuan, janganlah bersusah-susah, sebab aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku;  7 sebab itu aku juga menganggap diriku tidak layak untuk datang kepada-Mu. Tetapi katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh.  8 Sebab aku sendiri seorang bawahan, dan di bawahku ada pula prajurit. Jika aku berkata kepada salah seorang prajurit itu: Pergi!, maka ia pergi, dan kepada seorang lagi: Datang!, maka ia datang, ataupun kepada hambaku: Kerjakanlah ini!, maka ia mengerjakannya."  9 Setelah Yesus mendengar perkataan itu, Ia heran akan dia, dan sambil berpaling kepada orang banyak yang mengikuti Dia, Ia berkata: "Aku berkata kepadamu, iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai, sekalipun di antara orang Israel!"  10 Dan setelah orang-orang yang disuruh itu kembali ke rumah, didapatinyalah hamba itu telah sehat kembali.


I.      Pemimpin yang tahu menghargai bawahannya

Catatan di dalam Lukas 7:1-10 merupakan padanan dari catatan tentang peristiwa yang sama di dalam Matius 8:5-13. Di dalamnya kita membaca tentang permohonan kepada Yesus untuk menyembuhkan hamba dari seorang perwira di Kapernaum. Peristiwa ini terjadi segera sesudah Yesus turun dari bukit tempat di mana Ia mengajar orang banyak dengan khotbah yang dikenal sebagai Khotbah di Bukit.

Ada sedikit perbedaan rincian di dalam catatan kedua Injil tersebut, namun perbedaan tersebut sama sekali tidak membuatnya bertentangan satu sama lain. Perbedaan ini terjadi karena fokus dari catatan tentang peristiwa yang sama ini dalam kedua Injil tersebut berbeda. Apabila fokus dari catatan di dalam Injil Matius tentang peristiwa ini adalah pada kasih karunia Tuhan kepada orang-orang bukan Yahudi, maka fokus dari Injil Lukas adalah pada sifat-sifat yang luhur dalam diri sang perwira. Sifat-sifat yang luhur yang menyebabkan yang bersangkutan patut kita nilai sebagai teladan dari kepemimpinan yang menghamba.

Hal pertama yang menonjol dalam diri perwira ini adalah sikapnya yang penuh penghargaan terhadap hambanya. Di dalam Lukas 7:2 dikatakan sebagai berikut: “Di situ ada seorang perwira yang mempunyai seorang hamba, yang sangat dihargainya.”

Hal ini sangat menarik sebab yang dimaksudkan dengan hamba di sini bukanlah seorang pegawai atau pelayanan rumah tangga dalam pemahaman kita di masa kini. Tetapi hamba yang disebutkan di sini dalam bahasa Yunani adalah doulos yang artinya seorang budak. Seorang yang tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Seorang yang di dalam kehidupan masyarakat pada masa itu menempati strata sosial yang terendah. Sedangkan si perwira adalah seorang pejabat yang penting. Ia adalah seorang pemimpin tentara Romawi yang berkuasa. Walaupun demikian seperti yang dikatakan di dalam Lukas 7:2, ia sangat menghargai hambanya ini.

Inilah sikap seorang servant leader, pemimpin yang menghamba. Ia menghargai orang yang dipimpinnya. Sebagaimana dengan yang dilakukan oleh si perwira ini, ia tidak memandang kedudukannya yang tinggi sebagai penghalang untuk menghargai orang berkedudukan rendah. Sebaliknya ia memperlakukan yang bersangkutan sebagai pribadi yang berharga. Dengan kata lain, ia tidak menilai seseorang berdasarkan kedudukan yang disandangnya, tetapi melihatnya sebagai sesama manusia yang memiliki nilai yang sama dengan dirinya.


II.      Pemimpin yang rendah hati

Sifat yang pertama dalam diri si perwira ini berjalan seiring dengan sifatnya yang kedua, yaitu kerendahan hati. Hal ini nampak dari pernyataannya bahwa ia tidak merasa dirinya layak untuk menjumpai Yesus apalagi menerima Yesus di rumahnya.

Memang untuk menyampaikan permohonan kepada Yesus agar menolong hambanya yang dalam keadaan sakit tersebut si perwira ini telah meminta bantuan beberapa tokoh masyarakat Yahudi untuk menjumpai Yesus. Seperti yang dicatat di dalam Lukas 7:6-7, ketika Yesus memenuhi permintaan tersebut dengan pergi ke rumah si perwira itu, maka si perwira kembali menyuruh beberapa orang utusan untuk menjumpai Yesus dan menyampaikan pesan: “Tuan, janganlah bersusah-susah, sebab aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku; sebab itu aku juga menganggap diriku tidak layak untuk datang kepada-Mu.”

Bila si perwira ini tidak pergi sendiri untuk menjumpai Yesus namun mengirim utusan untuk menyampaikan pesannya, hal tersebut bukan karena ia sedang sibuk sehingga tidak memiliki waktu untuk menemui Yesus sendiri, tetapi karena ia merasa dirinya tidak layak untuk bertemu dengan Yesus. Bila ia tidak mengijinkan Yesus untuk mengunjungi rumahnya hal tersebut bukan karena kecongkakan dirinya, justru sebaliknya karena ia merasa tidak layak untuk menerima Yesus di rumahnya.

Patut diingat, perwira ini adalah seorang pemimpin militer kekaisaran Romawi untuk wilayah Kapernaum. Ia adalah seorang pejabat penting dari kekuatan yang besar yang menjajah negeri Israel. Namun ia merasa tidak layak untuk bertemu dengan Yesus dan menerima Yesus di rumahnya. Bagaimana mungkin hal tersebut dapat terjadi?

Pernyataannya tersebut menunjukkan perwira ini memahami pandangan agama Yahudi, yaitu bahwa tidaklah pantas bagi seorang Yahudi untuk memasuki rumah seorang yang bukan bangsa Yahudi. Sebab bagi orang Yahudi mereka yang bukan bangsa Yahudi adalah najis. Pandangan ini dapat kita lihat dari pernyataan Rasul Petrus pada waktu ia diundang untuk datang ke rumah Kornelius, seorang perwira tentara Romawi di Kaisarea seperti yang dicatat di dalam Kisah Para Rasul 10:28. Perwira ini dalam kerendahan hatinya menghargai pandangan orang Yahudi tersebut. Itu sebabnya walaupun ia adalah seorang pejabat penting ia tidak merasa layak untuk menemui Yesus apalagi menerima Yesus di rumahnya.

Sikap kerendahan hati seperti yang ada di dalam diri perwira ini merupakan ciri yang kedua dari seorang servant leader, pemimpin yang menghamba. Ia bersedia menghargai pandangan orang lain, dan tidak bertindak sewenang-wenang walaupun ia menduduki jabatan yang tinggi dan memiliki kekuasaan atas orang lain.


III.      Pemimpin yang membawa manfaat bagi lingkungannya

Bukan saja perwira ini menghargai bangsa Yahudi, ia juga mengasihi umat Tuhan tersebut. Hal ini terlihat dari pernyataan para tua-tua Yahudi yang datang menemui Yesus di dalam Lukas 7:4-5, “Ia layak Engkau tolong, sebab ia mengasihi bangsa kita dan dialah yang menanggung pembangunan rumah ibadat kami."

Pada masa itu di antara orang-orang bukan Yahudi terdapat dua golongan. Yang pertama yaitu mereka yang memeluk agama Yahudi, dan yang kedua mereka yang disebut sebagai “orang-orang yang takut kepada Allah”, Kornelius adalah contohnya. Bila orang asing yang memeluk agama Yahudi ini disunat dan hidup seperti orang Yahudi, maka mereka yang disebut sebagai “orang-orang yang takut kepada Allah” memang mempercayai Allah orang Israel hanya saja mereka tidak disunat ataupun hidup dalam budaya orang Yahudi. Nampaknya perwira dari Kapernaum ini hidup seperti Kornelius, ia adalah seorang yang takut kepada Allah.

Bahkan bukan saja ia mempercayai Allah yang disembah nenek moyang bangsa Israel, sehingga di dalam Matius 8:11 Yesus menyebut bahwa yang bersangkutan akan duduk makan bersama dengan Abraham, Ishak dan Yakub dalam Kerajaan Sorga, yang bersangkutan juga mencintai umat Tuhan dan Tuhan yang mereka sembah. Itu sebabnya ia menjadi berkat bagi mereka dengan menanggung pembangunan rumah ibadat atau sinagog mereka.

Hidup membawa manfaat bagi lingkungannya, inilah ciri yang ketiga dari seorang pemimpin yang menghamba. Ia hidup bukan hanya untuk dirinya sendiri. Sebaliknya dari hidup egois, ia hidup untuk menjadi berkat bagi orang lain. Orang yang hidup dalam sikap seperti perwira inilah yang akan hidup dalam penuh kebahagiaan. Ia mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Ia menghormati Tuhan dan hidup dalam kerendahan hati. Ia hidup diberkati dan hidup menjadi berkat bagi orang lain. Singkat kata, itulah kehidupan yang penuh dengan makna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar