KEPEMIMPINAN TINGKAT LIMA


Mengapa ada perusahaan-perusahaan yang mampu melejit dari sekedar perusahaan yang baik menjadi perusahaan yang hebat, tetapi ada perusahaan-perusahaan yang hanya bertahan sebagai perusahaan yang baik dan tak pernah bertumbuh menjadi hebat? Pertanyaan inilah yang mengganggu pikiran Jim Collins, seorang pakar manajemen dari Amerika yang sangat terkenal di dunia. Untuk itu ia membentuk team guna melakukan penelitian selama lima tahun penuh atas 1.435 perusahaan yang didaftarkan dalam Fortune 500.
Berdasarkan analisa atas nilai saham selama lima belas tahun dari perusahaan-perusahaan tersebut, Jim Collins menyimpulkan hanya sebelas perusahaan saja di antara 1.435 perusahaan tersebut yang pantas disebut sebagai perusahaan-perusahaan yang hebat. Kemudian Jim Collins mencoba mencari tahu faktor-faktor apakah yang mengakibatkan perusahaan-perusahaan ini menjadi hebat, bukan sekedar baik seperti perusahaan-perusahaan yang lain. Di dalam penelitian yang ia lakukan, Jim Collins menemukan adanya tujuh faktor yang membedakan antara kedua kelompok perusahaan tersebut. Hasil penelitian ini ia tulis dalam bukunya yang sangat terkenal, From Good to Great, atau Dari Baik menjadi Hebat.

Di dalam buku tersebut Jim Collins mengemukakan faktor pertama dari ketujuh faktor yang mengakibatkan suatu perusahaan bertumbuh dari baik menjadi hebat yaitu adalah faktor kepemimpinan dalam perusahaan tersebut. Ia mengistilahkannya sebagai Level 5 Leadership, atau Kepemimpinan Tingkat Lima. Bila suatu perusahaan atau lembaga dipimpin oleh Level 5 Leadership atau Pemimpin Tingkat Lima, maka perusahaan atau lembaga itu akan melejit dari baik menjadi hebat.

Lebih jauh lagi Jim Collins menjelaskan apakah yang ia maksudkan dengan Kepemimpinan Tingkat Lima tersebut. Ia mendefinisikan Kepemimpinan Tingkat Lima sebagai kepemimpinan yang diwarnai oleh kombinasi antara kerendahan hati dan keteguhan hati untuk mencapai yang terbaik bagi lembaga yang ia pimpin. Kombinasi ini sangat jarang, sebab kebanyakan orang yang rendah hati tidak memiliki semangat kuat untuk mencapai yang terbaik bagi lembaga yang ia pimpin. Sebaliknya orang yang memiliki dorongan yang kuat untuk mencapai hasil terbaik acapkali tidak hidup dalam kerendahan hati.

Dengan memperbandingkan hasil penelitian Jim Collins dengan kehidupan Yesus Kristus, kita dapat menyimpulkan bahwa Yesus merupakan contoh dari seorang pemimpin Tingkat Lima. Di dalam diri Yesus kita dapat melihat kombinasi antara kerendahan hati dan tekad yang teguh untuk mencapai yang seharusnya Ia capai, apapun resikonya. Hal ini antara lain dapat kita lihat dari sikap-Nya kepada orang-orang yang datang kepada-Nya untuk memperoleh pertolongan di dalam penderitaan mereka, sementara Ia sendiri harus menghadapi ancaman dari orang-orang Farisi yang berupaya untuk membunuh-Nya. Sikap ini mengingatkan Matius kepada nubuatan tentang Sang Mesias yang disampaikan oleh Yesaya di dalam Yesaya 42. Itu sebabnya saat menuliskan peristiwa ini di dalam Matius 12:15-21, Matius mengutip nubuatan Yesaya tersebut untuk menjelaskan pengamatannya terhadap kepemimpinan Yesus.

Matius 12:15-21

15 Tetapi Yesus mengetahui maksud mereka lalu menyingkir dari sana. Banyak orang mengikuti Yesus dan Ia menyembuhkan mereka semuanya.  16 Ia dengan keras melarang mereka memberitahukan siapa Dia,  17 supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya:  18 "Lihatlah, itu Hamba-Ku yang Kupilih, yang Kukasihi, yang kepada-Nya jiwa-Ku berkenan; Aku akan menaruh roh-Ku ke atas-Nya, dan Ia akan memaklumkan hukum kepada bangsa-bangsa.  19 Ia tidak akan berbantah dan tidak akan berteriak dan orang tidak akan mendengar suara-Nya di jalan-jalan.  20 Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya, sampai Ia menjadikan hukum itu menang.  21 Dan pada-Nyalah bangsa-bangsa akan berharap."


I.     Yesus adalah Mesias yang menghamba

Tindakan Yesus untuk menyembuhkan orang yang mengalami kelumpuhan pada tangan kanannya di dalam rumah ibadat pada hari Sabat telah membangkitkan amarah yang luar biasa di dalam hati orang-orang Farisi. Mengingat bukan saja perbuatan Yesus ini Ia lakukan di hari Sabat, tetapi juga di tengah-tengah orang banyak secara terang-terangan, dan dengan menyudutkan orang-orang Farisi karena kedegilan hati mereka dalam mengutamakan tradisi lebih dari apa yang dituliskan di dalam Kitab Suci sendiri. Di dalam kemarahannya, orang-orang Farisi tersebut berupaya untuk membunuh Yesus.

Mengetahui niat jahat orang-orang Farisi ini Yesus menyingkir ke Danau Galilea, namun Ia tidak berhenti untuk melayani orang banyak yang mencari dan mengikuti diri-Nya. Ia menyembuhkan semua orang yang meminta pertolongan dari-Nya. Hal ini mengingatkan Matius terhadap nubuatan Yesaya tentang Sang Mesias yang berbunyi: "Lihatlah, itu Hamba-Ku yang Kupilih, yang Kukasihi, yang kepada-Nya jiwa-Ku berkenan; Aku akan menaruh roh-Ku ke atas-Nya, dan Ia akan memaklumkan hukum kepada bangsa-bangsa.”

Di dalam nubuatan ini Yesus sebagai Sang Mesias digambarkan sebagai seorang hamba yang dipilih, dikasihi dan berkenan kepada Allah. Artinya kehadiran-Nya di dunia sebagai seorang hamba adalah berdasarkan pilihan atau rancangan Allah. Walaupun Ia adalah pribadi yang dikasihi oleh Allah namun Ia rela menjadikan diri-Nya seorang hamba dan kerelaan-Nya untuk merendahkan hati ini berkenan kepada Allah.

Kerelaan Yesus untuk menjadi seorang hamba ini terlihat dari kerelaan-Nya untuk melayani manusia yang datang kepada-Nya. Sebenarnya sebagai Pribadi yang Mulia, yaitu pribadi Allah Sang Putra sendiri Ialah yang harus dilayani dan disembah oleh manusia. Namun dalam kerendahan hati justru Ia rela melayani manusia. Dalam kerendahan hati pula Ia melarang orang-orang yang telah Ia tolong memberitahukan tentang siapa diri-Nya. Ia juga melarang roh-roh jahat yang Ia usir dari diri manusia yang mereka rasuki untuk memberitahukan hal yang sama. Artinya Ia melayani orang-orang yang menderita tersebut tanpa pamrih ataupun mencari popularitas diri.

Walaupun Ia memperoleh dukungan yang sangat besar dari orang banyak yang mengikuti diri-Nya dan memperoleh pertolongan dari-Nya, tetapi Yesus tidak menggunakan itu untuk menentang orang-orang Farisi yang bermaksud mencelakakan diri-Nya. Itu sebabnya lebih lanjut lagi Yesaya menubuatkan tentang Yesus sedemikian: “Ia tidak akan berbantah dan tidak akan berteriak dan orang tidak akan mendengar suara-Nya di jalan-jalan.”

Ya, Yesus benar-benar menjaga agar pertentangan-Nya dengan orang Farisi tidak menimbulkan kerusuhan massa, dan Ia juga tidak bersedia memanfaatkan orang-orang  yang telah Ia layani untuk melawan orang Farisi dengan kekerasan. Ia layani mereka dengan tulus hati. Sikap seorang hamba yang rendah hati inilah yang membuat Allah Bapa berkenan kepada-Nya.


II.     Yesus adalah Mesias yang bersikap perduli

Sikap menghamba yang luhur ini juga terlihat dari keperdulian Yesus terhadap penderitaan orang-orang yang Ia layani. Terhadap orang yang hampir putus asa karena kehabisan anggur dalam pesta Ia tidak berpangku tangan, namun diselamatkan-Nya pesta tersebut sehingga dengan demikian ditolong-Nya si penyelenggara pesta dari aib yang besar. Terhadap orang yang sakit kusta yang datang memohon pertolongan dari-Nya tanpa segan-segan Ia menjamah yang bersangkutan dan menyembuhkannya.

Ya, berbagai mujizat yang Ia lakukan dalam pelayanan-Nya merupakan wujud dari sikap-Nya sebagai Mesias yang rela menghambakan diri dan bersikap perduli terhadap penderitaan manusia. Itu sebabnya Yesaya berkata demikian tentang Yesus: “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya, sampai Ia menjadikan hukum itu menang.”

Keperdulian-Nya terhadap orang yang dalam keadaan lemah digambarkan seperti keperdulian seseorang terhadap buluh yang sudah patah terkulai. Buluh yang sudah luruh ini bukannya dipatahkan, tetapi ia menopangnya sehingga tegak kembali. Demikian pula yang dilakukan oleh Yesus terhadap orang yang sudah dianggap tak berguna karena kelemahan dan persoalan yang mereka hadapi. Ia tidak membuang orang itu, namun Ia memulihkan yang bersangkutan. Itulah yang Ia lakukan terhadap perempuan Samaria yang bertemu dengan diri-Nya di perigi Yakub dekat kota Sikhar. Buluh yang terkulai ini tak dipatahkan-Nya, tetapi Ia memulihkan kehidupan perempuan tersebut.

Demikian juga sikap-Nya kepada orang yang dalam keadaan putus asa, orang yang pengharapan hidupnya dalam keadaan seperti sebuah pelita yang sumbunya sudah pudar. Pengharapan orang tersebut tidak Ia padamkan, justru sebaliknya Ia memulihkan pengharapan yang bersangkutan. Hal itulah yang Ia lakukan terhadap orang yang sakit selama tiga puluh depalan tahun yang Ia temui di kolam Betesda. Pengharapan orang sudah putus asa dan merasa tak mungkin mengalami kesembuhan seperti  sumbu yang pudar ini tidak ia padamkan, tetapi Ia memulihkan yang bersangkutan.


III.     Yesus adalah Mesias yang gigih dalam berjuang

Namun bukan saja Yesus Kristus adalah pribadi yang melayani dengan sikap sebagai seorang hamba yang merendahkan diri dan bersikap perduli terhadap penderitaan manusia, Ia juga bersikap gigih dalam berjuang untuk menyelesaikan panggilan Allah terhadap diri-Nya. Yesaya menubuatkan bahwa Ia diurapi untuk memaklumkan hukum kepada bangsa-bangsa.  Artinya Ia akan memberitakan kehendak , kebenaran dan hukum Tuhan kepada bangsa-bangsa. Tugas ini tidak akan ia biarkan terbengkalai sampai seperti yang dikutip oleh Matius di dalam Matius 12:20, yaitu “sampai Ia menjadikan hukum itu menang.”

Hal ini menunjukkan kegigihan Yesus untuk melakukan kehendak Allah Bapa di dalam mengutus diri-Nya ke dunia sebagai Sang Mesias, walaupun tantangan yang sangat besar Ia dapatkan dari orang-orang Farisi dan para ahli Taurat, baik di Yerusalem maupun di Galilea. Ia bersikap lembut terhadap mereka yang menderita, tetapi Ia bersikap sangat tegas terhadap para ahli Taurat, pemimpin agama Yahudi yang menyeleweng. Ia tidak bersedia untuk menyerah dan berhenti menolong manusia yang menderita. Apapun resikonya, Ia tetap bekerja melakukan kehendak Bapa bagi diri-Nya sampai garis akhir.

Kegigihan yang dikombinasikan dengan kerendahan hati dalam sikap menghamba dan perduli inilah yang diistilahkan oleh Jim Collins sebagai Level Five Leadership atau Kepemimpinan Tingkat Lima. Tak heran apabila pelayanan Yesus tetap berdampak sampai hari ini. Karena itu dengan mengutip nubutan Yesaya tentang Yesus sebagai Sang Mesias rasul Matius menulis: “Dan pada-Nyalah bangsa-bangsa akan berharap."

Saudara-saudari pengharapan yang ditaruhkan manusia kepada Yesus adalah selayaknya. Ia memang pribadi yang dapat diandalkan. Kerendahan hati, keperdulian dan kegigihan-Nya dalam memenuhi tujuan kedatangan-Nya ke dunia menjadi jaminan kita. Dengan demikian kita mengetahui bahwa Ia tidak akan mengabaikan orang yang berharap kepada-Nya. Ia tidak akan menolak orang yang datang kepada-Nya dan Ia tidak akan mengecewakan orang yang percaya kepada-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar