KEPEMIMPINAN YANG MELAWAN ARUS


Kebanyakan orang yang mempelajari ilmu psikologi akan mengenal nama Solomon Asch. Yang bersangkutan adalah guru besar ilmu psikologi dari Swarthmore College di Pennsylvania dan seorang perintis ilmu psikologi sosial. Ia menjadi terkenal karena eksperimennya tentang pengaruh tekanan sosial terhadap pandangan hidup seseorang. Di dalam eksperimen tersebut Solomon Asch mengumpulkan lebih dari seratus orang murid laki-laki. Mereka dibagi ke dalam kelompok yang masing-masing terdiri dari 10 orang pelajar. Setiap kelompok ditempatkan dalam satu ruang kelas. Kemudian kepada setiap kelompok ditunjukkan sebuah kartu dengan satu garis tertera padanya dan dilanjutkan dengan sebuah kartu lain dengan tiga garis yang panjangnya berbeda-beda dan masing-masing diberi label a, b dan c. Lalu setiap peserta diminta untuk mengangkat tangannya saat si penguji menunjukkan salah satu garis pada kartu kedua yang mereka pandang sama panjangnya dengan garis pada kartu pertama.

Sebenarnya garis dengan label a lah yang sama panjangnya dengan garis pada kartu yang pertama. Sedangkan ukuran garis dengan label b lebih pendek dan garis berlabel c lebih panjang. Namun secara rahasia tanpa diketahui oleh teman-temannya yang lain, kepada sembilan siswa dalam setiap kelompok diberitahu agar ia hanya mengangkat tangannya saat si penguji menunjukkan garis berlabel c pada kartu kedua, walaupun jelas garis c lebih panjang dibandingkan garis pada kartu pertama.

Pada saat eksperimen dilaksanakan dan si penguji menunjukkan garis a, siswa yang tidak mendapatkan pemberitahuan terlebih dahulu langsung mengangkat tangan, sebab memang garis a sama panjangnya dengan garis pada kartu pertama. Tetapi ketika melihat bahwa ia adalah satu-satunya siswa dalam kelompok yang mengangkat tangan, maka dengan perlahan-lahan dan agak ragu-ragu ia pun menurunkan tangannya. Saat penguji menunjukkan garis b yang lebih pendek, ia melihat tidak seorang pun dari teman kelompoknya yang mengangkat tangan, maka ia pun tidak mengangkat tangan. Tetapi saat di penguji menunjuk garis c yang sesungguhnya lebih panjang dari garis pada kartu pertama ia melihat seluruh teman kelompoknya mengangkat tangan. Tanpa ragu-ragu ia pun ikut mengangkat tangan sebagai tanda menyetujui bahwa garis c sama panjangnya dengan garis pada kartu pertama.

Solomon Asch menemukan bahwa ternyata hal tersebut terjadi atas 75% dari seluruh kelompok dalam eksperimen yang ia lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata di tengah tekanan sosial kebanyakan orang akan cenderung menyangkali keyakinannya dan lebih suka mengikuti pendapat orang lain yang sebenarnya ia ketahui keliru dan bertentangan dengan keyakinannya sendiri. Artinya berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kebanyakan orang tidak memiliki keberanian untuk hidup menentang arus mayoritas serta  berjalan berdasarkan keyakinan yang ada dalam dirinya.

Sikap berani untuk menentang arus inilah yang dapat kita lihat pada diri Yesus. Ia tidak merasa enggan untuk melawan arus legalisme yang mewarnai kehidupan orang-orang Farisi walaupun sikap-Nya ini mengandung resiko yang sangat besar. Hal tersebut dapat kita saksikan dari tindakan-Nya dengan menyembuhkan seorang yang lumpuh tangan kanannya di dalam rumah ibadat pada hari Sabat. Peristiwa ini dicatat di dalam ketiga kitab Injil Sinoptik, antara lain di dalam Lukas 6:6-11.

Lukas 6:6-11

6 Pada suatu hari Sabat lain, Yesus masuk ke rumah ibadat, lalu mengajar. Di situ ada seorang yang mati tangan kanannya.  7 Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi mengamat-amati Yesus, kalau-kalau Ia menyembuhkan orang pada hari Sabat, supaya mereka dapat alasan untuk mempersalahkan Dia.  8 Tetapi Ia mengetahui pikiran mereka, lalu berkata kepada orang yang mati tangannya itu: "Bangunlah dan berdirilah di tengah!" Maka bangunlah orang itu dan berdiri.  9 Lalu Yesus berkata kepada mereka: "Aku bertanya kepada kamu: Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membinasakannya?"  10 Sesudah itu Ia memandang keliling kepada mereka semua, lalu berkata kepada orang sakit itu: "Ulurkanlah tanganmu!" Orang itu berbuat demikian dan sembuhlah tangannya.  11 Maka meluaplah amarah mereka, lalu mereka berunding, apakah yang akan mereka lakukan terhadap Yesus.


I.     Ia bertindak berdasarkan pertimbangan moral

Tidak terlalu lama sesudah Ia berkonfrontasi dengan orang-orang Farisi baik di Yerusalem karena menyembuhkan seorang yang sakit di kolam Betesda pada hari Sabat dan di Yudea karena membenarkan para murid-Nya untuk memetik serta memakan bulir-bulir gandum di ladang pada hari Sabat, kembali Yesus diperhadapkan dengan sikap legalistik orang-orang Farisi tentang hukum Sabat. Kali ini terjadi saat Ia mengajar di dalam rumah ibadat.

Di dalam rumah ibadat atau sinagog tersebut terdapat seorang yang tangan kanannya dalam keadaan lumpuh. Orang-orang Farisi melihat ini sebagai kesempatan mencari alasan untuk mempersalahkan Yesus, yaitu kalau Ia menyembuhkan orang tersebut. Tetapi Yesus yang mengetahui pikiran orang-orang Farisi tersebut tanpa ragu-ragu justru meminta agar orang yang sakit itu berdiri di tengah-tengah himpunan orang yang beribadah di dalam rumah ibadat tersebut. Ia melihat ini sebagai kesempatan untuk memberikan pelajaran tentang moralitas kepada semua pengunjung rumah ibadat tersebut.

Untuk itu Ia bertanya kepada orang-orang Farisi: “Aku bertanya kepada kamu: Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membinasakannya?” Artinya Ia memperhadapkan mereka kepada pilihan moral, yaitu berbuat baik dan menyelamatkan nyawa orang walaupun harus melanggar tradisi tentang hukum Sabat atau berbuat jahat dan membinasakan nyawa orang demi memelihara tradisi yang dibuat oleh manusia berdasarkan penafsiran mereka terhadap hukum Tuhan.

Terhadap pertanyaan ini orang-orang Farisi tersebut tak mampu memberikan jawaban. Sebab dalam pertimbangan moral sesungguhnya mereka tahu bahwa mereka harus menjawab berbuat baik lebih penting dibandingkan memelihara tradisi, namun sikap legalistik membuat mereka tak mampu untuk membuat pilihan moral tersebut. Karena itu Yesus menyembuhkan orang itu untuk menunjukkan bahwa Ia bertindak berdasarkan pertimbangan moral lebih dibandingkan pertimbangan tradisi.


II.     Ia bertindak berdasarkan pertimbangan tata nilai

Di samping menunjukkan pentingnya pertimbangan moral lebih dari pertimbangan untuk memelihara tradisi yang bisa jadi bertentangan dengan moralitas yang seharusnya, Yesus juga menjelaskan kepada para orang Farisi tersebut bahwa Ia bertindak berdasarkan pertimbangan tata nilai yang semustinya. Dalam hal ini Ia melihat bahwa manusia adalah pribadi yang bernilai, jauh lebih bernilai dari harta benda yang dimiliki manusia. Untuk itu di dalam peristiwa yang sama di dalam catatan Matius 12:11-12 Ia memperbandingkan nilai manusia dengan nilai seekor domba.

Matius 12:11-12

11 Tetapi Yesus berkata kepada mereka: "Jika seorang dari antara kamu mempunyai seekor domba dan domba itu terjatuh ke dalam lobang pada hari Sabat, tidakkah ia akan menangkapnya dan mengeluarkannya?  12 Bukankah manusia jauh lebih berharga dari pada domba? Karena itu boleh berbuat baik pada hari Sabat."

Di dalam ajaran tradisi yang disampaikan oleh para ahli Taurat dinyatakan bahwa bila seekor domba jatuh ke dalam lobang pada hari Sabat si pemilik domba itu tidak usah menunggu sampai keesokan harinya untuk menolong dombanya, tetapi ia boleh menangkap dan mengeluarkannya pada hari Sabat itu juga. Atas dasar itu Yesus menjelaskan bahwa tidaklah salah untuk menyembuhkan orang yang sakit pada hari Sabat sebab manusia jauh lebih bernilai dibandingkan seekor domba.

Memang sebenarnya kalau Yesus mau Ia tidak harus menyembuhkan si orang yang lumpuh tangan kanannya itu pada hari Sabat tersebut. Ia dapat menundanya sampai keesokan harinya supaya tidak usah berlawanan dengan orang Farisi. Atau kalau perlu Ia juga dapat menyembuhkan orang tersebut secara diam-diam, tidak harus secara demonstratif memanggilnya berdiri di tengah-tengah orang banyak dan menyembuhkannya di depan umum. Tetapi Yesus dengan sengaja memilih untuk melakukannya di hari Sabat supaya para orang Farisi tahu bahwa Ia bertindak berdasarkan pertimbangan tata nilai yang semustinya, dalam hal ini yaitu bahwa manusia jauh lebih berharga dibandingkan harta ataupun hewan peliharaan.


III.     Ia bertindak berdasarkan pertimbangan hati nurani

Orang-orang Farisi yang berada di dalam rumah ibadat itu sebenarnya mengetahui jawaban apa yang semustinya mereka berikan terhadap pertanyaan-pertanyan moral dan etis yang diajukan oleh Yesus kepada mereka. Mereka sesungguhnya tahu bahwa berbuat baik di hari Sabat adalah lebih penting dibandingkan dengan memelihara tradisi buatan manusia. Mereka sebenarnya mengetahui bahwa manusia jauh lebih bernilai dibandingkan dengan seekor hewan piaran. Namun pengaruh tekanan sosial sebagai seorang Farisi dan sikap munafik membuat hati mereka menjadi degil sehingga tak bersedia menjawab pertanyaan tersebut. Sebagaimana yang dicatat di dalam Markus 3:4-5, sikap mereka ini membangkitkan rasa duka dan marah dalam diri Yesus

Markus 3:4-5

4 Kemudian kata-Nya kepada mereka: "Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?" Tetapi mereka itu diam saja.  5 Ia berdukacita karena kedegilan mereka dan dengan marah Ia memandang sekeliling-Nya kepada mereka lalu Ia berkata kepada orang itu: "Ulurkanlah tanganmu!" Dan ia mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya itu.

Sikap Yesus ini memberikan pelajaran yang sangat penting tentang sikap kepemimpinan yang seharusnya. Seorang pemimpin haruslah berani bertindak melawan arus dengan berdasarkan keyakinan nurani dan tak boleh terpengaruh oleh tekanan sosial. Seorang pemimpin yang berani memegang teguh prinsip berdasarkan pertimbangan moral dan tata nilailah yang akan memiliki kepekaan nurani sehingga tak bersedia hidup dalam kemunafikan.

Yesus telah memberikan contoh tentang keberanian untuk membayar harga karena keyakinan nurani. Kepemimpinan yang bersedia mengambil sikap tegas dengan keyakinan nurani yang kuat seperti itulah yang akan mampu mempengaruhi dunia sekitarnya. Orang-orang yang hidup dalam keyakinan nurani itulah yang patut disebut sebagai orang-orang besar dalam sejarah, sebab melalui kehidupannya ia membawa perubahan dan menjadikan lingkungan sekitarnya menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar