Di beberapa wilayah di Indonesia tak jarang kita melihat biara-biara Kristen dengan ciri khasnya yaitu bangunan yang bertembok rapat, seakan terpisah dari dunia luar. Di biara-biara tertentu tak banyak orang yang diijinkan masuk ke dalamnya sehingga tak banyak orang yang tahu apa yang terdapat di dalamnya dan apa saja yang dilakukan oleh para biarawan yang hidup di dalamnya. Kesan misterius itulah yang kebanyakan orang rasakan di kala ia melihat dan mendengar kata biara. Dari mana semua ini bermula?
Saudara-saudari, keberadaan biara bukan hal yang baru, namun dapat ditelesuri sejarahnya sampai dengan 1.800 tahun yang silam, yaitu sejak mulai bertumbuhnya gerakan asketis Kristen di Palestina, Mesir dan Siria di masa itu. Gerakan asketis adalah gerakan untuk hidup meninggalkan kenikmatan hidup jasmaniah secara ketat yang dilakukan dengan disiplin yang tinggi dan dengan tujuan untuk hidup mendekatkan diri kepada Tuhan. Salah satu toko dan pelopor dalam gerakan asketis Kristen ini adalah Antonius dari Mesir yang hidup pada tahun 251 sampai 356 Masehi.
Antonius dilahirkan dalam sebuah keluarga yang kaya di Herakleopolis Magna, dekat Delta Sungai Nil, tak jauh dari kota Kairo di masa kini. Pada waktu ia berusia 18 tahun, kedua orang tuanya wafat dengan meninggalkan warisan tanah yang luas kepada Antonius. Enam belas tahun kemudian ia mengambil keputusan untuk mengikuti secara harafiah sabda Tuhan Yesus kepada pemuda kaya yang menanyakan jalan untuk memperoleh hidup yang kekal, yang antara lain dicatat di dalam Matius 19:21 sebagai berikut: juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.
Antonius memberikan sebagian dari ladang warisan yang ia terima dari orang tuanya kepada para tetangganya, sedangkan sisanya ia jual dan uang hasil penjualan tanah itu ia bagi-bagikan kepada orang miskin. Sesudah itu ia mengasingkan diri ke padang gurun tak jauh dari kota tempat di mana ia berasal. Kesalehan hidup Antonius membuat banyak orang mencari dirinya untuk meminta nasihat rohani, dan hal ini mendorong dirinya untuk masuk ke padang gurun yang semakin dalam, untuk menghindarkan keramaian. Di padang gurun yang terpencil itu beberapa orang mengikuti dirinya dan menjadi muridnya.
Kehidupan Antonius ini dibukukan oleh Athanasius, seorang pemimpin gereja yang sangat berpengaruh dari Iskandariah di Mesir. Akibatnya banyak orang terinspirasi oleh kehidupan Antonius dan mengikuti jejaknya dengan mengasingkan diri ke padang gurun. Salah satu alasan utama yang mendorong mereka untuk mengikuti jejak Antonius adalah karena keresahan di dalam hati mereka melihat kemerosotan moralitas di dalam gereja di abad IV dan kemewahan hidup para pemimpin gereja di masa itu. Di padang gurun yang jauh dari kenikmatan jasmaniah itu mereka merasa dapat bergaul dengan Tuhan secara lebih khusuk.
Jumlah mereka yang mengikuti jejak Antonius ini semakin lama semakin bertambah banyak. Lama kelamaan karena alasan keamanan dari binatang buas dan para penyamun para pencari Tuhan di padang gurun ini mulai membentuk berbagai komunitas di mana mereka hidup bersama sebagai kelompok asketis. Inilah cikal bakal dari berdirinya biara-biara yang tersebar di berbagai penjuru dunia sampai kepada hari ini.
Mereka yang hidup sebagai biarawan ini mengkhususkan diri untuk hidup bergaul dengan Tuhan dengan menjauhkan diri dari keramaian dunia. Itu sebabnya adalah wajar apabila gedung biara tak boleh dimasuki oleh sembarang orang sebab bila tidak demikian maka tujuan pengasingan diri tersebut tidak akan tercapai. Walaupun bukan berarti dengan demikian maka para biarawan tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan masyarakat. Di dalam pengabdiannya kepada masyarakat, mereka tetap menjalin hubungan dengan dunia di luar biara.
Pola kehidupan biarawan yang mengasingkan diri dari keramaian ini selain mengikuti jejak yang telah diawali oleh Antonius dari Mesir juga mengikuti jejak dari Yohanes Pembaptis. Kedua mereka telah menempuh kehidupan asketis di padang gurun. Tentang kehidupan Yohanes Pembaptis tersebut antara lain dapat kita lihat di dalam catatan Lukas 1:80 dan Matius 3:1-4 sebagai berikut.
Lukas 1:80
Adapun anak itu bertambah besar dan makin kuat rohnya. Dan ia tinggal di padang gurun sampai kepada hari ia harus menampakkan diri kepada Israel
Matius 3:1-4
1 Pada waktu itu tampillah Yohanes Pembaptis di padang gurun Yudea dan memberitakan: 2 "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!" 3 Sesungguhnya dialah yang dimaksudkan nabi Yesaya ketika ia berkata: "Ada suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya." 4 Yohanes memakai jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit, dan makanannya belalang dan madu hutan.
I. Berjumpa dengan Tuhan dalam kesunyian
Baik di dalam Lukas 1 dan Matius 3 yang telah kita baca di atas maupun di dalam Markus 1 dengan jelas dicatat bahwa Yohanes hidup di padang gurun jauh sebelum ia mulai melayani di depan umum. Memang tidak dicatat apa yang ia lakukan di padang gurun Yudea yang sunyi dan terpencil tersebut, kecuali dicatat cara ia berpakaian dan apa yang menjadi makanannya sehari-hari. Tentang hal makanan ini dicatat bahwa Yohanes menjadikan belalang dan madu hutan sebagai makanannya.
Banyak orang yang menafsirkan bahwa belalang yang dimakan oleh Yohanes di sini adalah semacam kacang-kacangan yang dihasilkan oleh semak yang tumbuh di padang gurun Yudea. Sebagian orang lagi menafsirkan bahwa belalang yang dimaksudkan adalah benar-benar serangga belalang, sebab berdasarkan ketentuan di dalam kitab Imamat 11:22 belalang termasuk binatang yang halal untuk dimakan. Sebagaimana di daerah pedesaan Indonesia, demikian juga serangga belalang merupakan sumber protein yang tinggi bagi orang-orang yang miskin di wilayah Timur Tengah.
Bagi kita sesungguhnya mana yang benar dari kedua tafsiran ini sama sekali tidak memiliki makna rohani yang signifikan. Kedua-duanya sama-sama menunjukkan makanan yang sederhana yang diperoleh dari padang gurun. Alkitab dengan teliti mencatat cara Yohanes dalam berpakaian yang berbeda dengan orang kebanyakan yang mengenakan jubah kain, dan makanannya sehari-hari yang sederhana, adalah dengan tujuan menjelaskan betapa sederhananya kehidupan Yohanes di padang gurun. Ia menanggalkan semua kenyamana dan kemewahan hidup sampai ke batas hal-hal yang sungguh sangat hakiki saja, yaitu sandang dan pangan yang secukupnya.
Kesunyian dan hidup bersahaja di padang gurun ini nampaknya merupakan sarana bagi Yohanes untuk berjumpa dan bersekutu dengan Tuhan. Hal ini pulalah yang dilakukan oleh Yesus Kristus, baik saat Ia berpuasa selama empat puluh hari di padang gurun di awal pelayanan-Nya seperti yang antara lain dicatat di dalam Matius 4, maupun dengan berulang kali mengasingkan diri di bukit untuk berdoa seorang diri sebelum Ia melakukan pekerjaan-pekerjaan yang penting.
Saudara-saudari, nampaknya keramaian dan ketergantungan diri kepada hal-hal yang tidak hakiki dalam hidup dapat mengganggu perjumpaan yang akrab dengan Tuhan. Para pengikut Kristus perlu membangun disiplin diri untuk secara berkala mengambil waktu meninggalkan keramaian dan menanggalkan diri dari ketergantungan kepada hal-hal yang tak hakiki. Melaluinya kita dapat memasrahkan diri dengan khusuk kepada Tuhan, menikmati persekutuan dan kehadiran-Nya tanpa perlu bergantung kepada hal-hal yang lain kecuali kepada Tuhan.
II. Berjumpa dengan diri sendiri dalam kesunyian
Di dalam kesunyian dan kebersahajaan tersebut bukan saja kita akan berjumpa dengan Tuhan namun juga berjumpa dengan diri sendiri. Di sana kita akan dapat melihat diri kita sebagaimana adanya, dalam segala kelemahan dan ketidak sempurnaannya. Kesunyian merupakan sarana yang tepat bagi kita untuk merenung atau berkontemplasi untuk melakukan evaluasi diri, sehingga dengan demikian kita mengerti keterbatasan kita. Perjumpaan dengan diri sendiri itulah yang digambarkan sebagai pencobaan di padang gurun yang dialami baik oleh Yesus Kristus maupun Antonius dari Mesir.
Di dalam riwayat hidup Antonius dari Mesir yang ditulis oleh Anthanasius yang sudah saya sebutkan di atas, dicatat berulang kali dalam pengasingannya di padang gurun Antonius harus berjuang melawan Iblis yang mencobai dirinya dengan berbagai macam cara. Hal ini nampaknya mengulang pengalaman Yesus Kristus yang mengalami pencobaan oleh Iblis saat Ia berpuasa di padang gurun.
III. Keseimbangan antara kesunyian dan komunitas
Saudara-saudari, disiplin diri untuk menjauhkan diri dari keramaian dan hidup dalam kebersahajaan ini akan menolong kita untuk berjumpa dengan Tuhan dan hidup mawas diri. Namun bukan berarti dengan demikian setiap kita harus hidup dalam keadaan tak memperdulikan dunia sekitar kita.
Yohanes juga tidak sama sekali memisahkan diri dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Ia mengetahui kemunafikan hidup para imam di Yerusalem dan penyelewengan yang dilakukan oleh para pemungut cukai dan prajurit yang datang menemui dirinya. Ia melakukan pelayanan di tengah masyarakat pada zamannya untuk menyerukan pertobatan, dan dengan demikian ia mempersiapkan jalan bagi pelayanan Yesus Kristus. Artinya walaupun hidup di padang gurun Yohanes tak hidup terisolasi dari dunia sekitarnya.
Pentingnya kesunyian bagi pertumbuhan relasi dengan Tuhan bukan berarti dengan demikian semua kita harus menjadi biarawan ataupun biarawati. Juga tidak berarti kita harus mengasingkan diri ke padang gurun seperti Antonius ataupun Yohanes. Yang diperlukan adalah memiliki waktu yang berkala untuk menjauhkan diri dari keramaian, namun pada saat yang sama setiap kita tetap harus hidup dalam komunitas, baik di antara sesama pengikut Kristus maupun masyarakat banyak.
Waktu berkala untuk menjauhkan diri dari keramaian dan hidup secara bersahaja itu dapat dalam bentuk retret pribadi, doa puasa secara pribadi di bukit-bukit doa ataupun rumah-rumah doa. Dapat juga dalam bentuk saat teduh yang teratur di saat kita tak terganggu oleh kesibukan lainnya, baik di pagi hari, atau di malam hari atau di siang hari seusai membereskan urusan rumah bagi para ibu rumah tangga saat suami berada di kantor dan anak-anak berada di sekolah. Dalam saat teduh tersebut kita mengambil waktu untuk berdoa, membaca Alkitab, merenungkan firman Tuhan, meneduhkan pikiran dalam kotemplasi dan menikmati kehadiran Tuhan. Mari kita isi tahun ini dengan pertumbuhan kualitas hidup melalui membangun keseimbangan antara hidup bersekutu dengan Tuhan di dalam kesunyian dan komunitas. Dengan demikian tahun ini akan menjadi tahun di mana hidup kita semakin bermakna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar