Dua ribu enam ratus tahun yang lampau di Yunani hidup seorang yang bernama Aesop. Ia adalah seorang mantan budak yang sangat terkenal karena kemampuannya untuk bercerita. Dongeng-dongeng yang ia gubah sedemikian melegendanya sehingga mewarnai kosa kata berbagai bahasa di dunia. Bahkan sedemikian terserapnya kisah-kisah Aesop dalam hidup sehari-hari sehingga banyak idiom yang sebenarnya berasal dari dongeng yang ia ceritakan telah kita gunakan tanpa kita menyadari darimana ia berasal. Sebagai contoh kalimat “serigala berbulu domba.” Istilah atau idiom ini berasal dari dongeng yang ia ceritakan. Alkisah, kata Aesop, seekor serigala ingin menyantap seekor domba yang gemuk untuk makan malamnya. Namun hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan, sebab ia melihat kawanan domba yang ia incar berada di dalam penjagaan beberapa orang gembala.
Sang serigala pun memutar akalnya untuk menemukan cara yang terbaik agar dapat menangkap domba yang ia inginkan. Akhirnya ia menemukan jalan, yaitu melalui menyamar dengan mengenakan kulit domba agar ia dapat menyusup ke tengah-tengah kawanan domba yang sedang berada di padang penggembalaan. Para domba dan gembala tidak menyadari bahwa salah seekor dari domba yang sedang merumput bersama di padang itu sesungguhnya adalah seekor serigala.
Senja pun tiba. Para gembala membawa kawanan domba masuk ke dalam kandang. Si serigala pun ikut beserta dengan mereka. Dengan tenang ia membaur di antara kawanan domba tersebut sambil menunggu sampai para gembala dan domba tertidur dan dia akan mencuri domba yang tergemuk untuk menjadi mangsanya.
Sementara itu para gembala pun merasa kelaparan dan memutuskan untuk mengambil salah seekor domba mereka sebagai santap malam. Karena itu salah seorang dari mereka masuk ke dalam kandang untuk mengambil domba yang tergemuk, dan si serigala yang sedang menyamar itu nampak seperti seekor domba yang sangat gemuk. Si gembala pun tanpa memeriksa lagi langsung menyembelih domba yang sesungguhnya adalah serigala itu dan menjadikannya makan malam bersama dengan teman-temannya.
Saudara-saudari, kisah ini mengajar kepada kita tentang bahayanya hidup dalam kemunafikan, yaitu hidup seperti serigala yang berbulu domba. Sebab bisa jadi justru kita sendiri yang akan menjadi korban dari kemunafikan tersebut. Hal inilah yang Yesus tegaskan kepada para pendengar khotbah-Nya yang dikenal sebagai Khotbah di Bukit. Di sana Ia mengutarakan tiga perilaku yang munafik yang dilakukan oleh para pemimpin agama Yahudi di masa itu, khususnya para orang Farisi. Ketiga perilaku ini nampak dari luar seperti suatu perilaku yang saleh, namun sesungguhnya tidak sesuai dengan hati mereka yang penuh dengan kesombongan dan harus pujian.
Ketiga perilaku tersebut adalah memberi sedekah, berdoa dan berpuasa yang dilakukan di depan umum agar dilihat dan dipuji orang. Di mata Tuhan ibadah yang diwarnai dengan kemunafikan ini adalah sia-sia. Hal tersebut dicatat di dalam Matius 6:2, 5 dan 16.
Matius 6:2, 5 dan 16
2 Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. 5 Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. 16 Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.
I. Ibadah yang munafik
Di dalam rangkaian contoh ibadah yang Yesus berikan tentang kemunafikan yang dilakukan orang-orang Farisi, baik itu pemberian sedekah, doa maupun puasa, ada satu benang merah yang menghubungkan ketiga-tiganya, yaitu dilakukan di depan umum untuk memperoleh pujian orang.
Tentang pemberian sedekah, agar hal tersebut diketahui orang banyak maka orang Farisi mencanangkannya di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong. Sedangkan tentang berdoa, mereka melakukannya dengan berdoa secara bertele-tele di rumah-rumah ibadat dan di tikungan-tikungan jalan. Lebih jauh lagi, bila mereka berpuasa, agar orang lain tahu bahwa mereka sedang berpuasa maka mereka dengan sengaja mengubah raut muka mereka menjadi muram.
Nampaknya Yesus dengan sengaja memilih ketiga kegiatan ini sebagai contoh dari sekian banyak kemunafikan yang dilakukan oleh orang-orang Farisi. Ketiga kegiatan ibadah ini menyangkut ketiga relasi dalam diri manusia. Memang ketiga-tiganya berkaitan dengan sikap hati kepada Tuhan dan berdampak terhadap diri orang yang melakukannya, namun masing-masing mencerminkan salah satu aspek dari ketiga aspek relasi yang harus dibangun dalam hidup manusia.
Sedekah sebagai perbuatan yang baik dalam bentuk memberikan bantuan kepada orang yang memerlukannya mencerminkan aspek relasi kita dengan sesama manusia. Doa sebagai sarana kita untuk berbicara kepada Tuhan mencerminkan aspek relasi kita dengan Tuhan. Sedangkan puasa sebagai sarana untuk menyatakan keprihatinan diri dan membangun sikap mawas diri maka lebih merupakan cerminan aspek relasi kita dengan diri kita sendiri.
Bila semua tindakan ibadah tersebut pertama bersifat untuk mengagungkan Tuhan dan yang kedua menyehatkan ketiga aspek relasi tadi, maka justru kemunafikan orang Farisi bertolak belakang dengan kedua-duanya. Ibadah yang mereka lakukan bukannya untuk mengagungkan Tuhan tetapi untuk membesarkan diri sendiri. Bukannya membangun relasi yang sehat dengan Tuhan, diri sendiri dan sesama, tetapi justru memperburuk ketiga aspek tersebut. Karena itu Tuhan Yesus berkata bahwa semua yang dilakukan oleh orang Farisi dalam kemunafikannya tersebut adalah sia-sia.
II. Panggilan bagi para pengikut Kristus
Apabila kita memperhatikan ayat-ayat sebelumnya, di sana Tuhan Yesus menegaskan bahwa para pengikut-Nya haruslah hidup sebagai garam dan terang dunia. Untuk dapat hidup sedemikian Ia memberikan dua syarat. Yang pertama hidup keagamaan mereka harus lebih benar dibandingkan hidup keagamaan orang Farisi. Yang kedua mereka harus hidup dalam tata nilai yang lebih tinggi dari para pemungut cukai dan orang-orang yang tidak mengenal Allah. Kedua hal itu dicatat di dalam Matius 5:20, 46-47.
Matius 5:20, 46-47
“20 Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” 46 Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? 47 Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?
Orang Farisi adalah para pemimpin agama Yahudi dan pengajar hukum Taurat yang beranggapan bahwa mereka harus memisahkan diri dari kebejatan dunia dengan menaati hukum Taurat serta adat istiadat lisan yang diajarkan para ahli Taurat sebagai penafsiran terhadap hukum Taurat. Sedangkan pemungut cukai dan orang yang tidak mengenal Allah adalah orang-orang yang berdosa, dan dipandang tidak mewarisi Kerajaan Allah.
Dengan menyejajarkan orang Farisi dengan para pemungut cukai dan orang yang tidak mengenal Allah maka berarti Tuhan Yesus mengatakan bahwa sesungguhnya orang Farisi tidaklah berbeda dengan mereka. Sesungguhnya kedua-duanya adalah orang-orang yang berdosa di mata Tuhan dan tidak beribadah kepada Allah yang benar. Orang Farisi di dalam kemunafikannya mengagungkan dirinya sendiri. Para pemungut cukai dalam keserakahan mereka mengagungkan harta, yaitu dengan mengorbankan orang lain dan memeras bangsanya sendiri. Orang-orang yang tidak mengenal Allah mengagungkan berhala-berhala yang bukan Allah yang sejati.
Dengan menyebut mereka Tuhan Yesus juga bermaksud untuk menjelaskan bahwa agar para murid-Nya dapat hidup mempengaruhi dunia, yaitu sebagai garam dan terang, maka mereka haruslah hidup berbeda dengan kemunafikan orang-orang Farisi dan kebejatan para pemungut cukai dan orang-orang yang tidak mengenal Allah.
III. Bahaya dari kemunafikan
Lebih jauh di dalam Matius 5:48 Tuhan Yesus menyimpulkan bagaimana para murid-Nya harus hidup sebagai garam dan terang sebagai berikut “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna."
Seperti yang pernah saya jelaskan di waktu yang lalu, kata sempurna atau di dalam bahasa Yunani teleios yang Yesus katakan di sini bukanlah dalam pengertian sempurna tanpa cacat. Tetapi kata ini mengandung pengertian “utuh, lengkap, matang.” Berarti kehidupan yang berbeda dengan kemunafikan orang Farisi dan kebejatan para pemungut cukai serta orang yang tak mengenal Allah itu adalah hidup yang terpadu atau utuh. Padu antara apa yang mereka katakan dengan apa yang diperbuat. Utuh antara apa yang dikerjakan secara lahiriah dengan apa yang menjadi keyakinan di dalam hati. Singkat kata mereka tak boleh hidup munafik.
Dengan demikian maka bila para murid Kristus hidup di dalam kemunafikan seperti yang dilakukan oleh orang-orang Farisi hal tersebut sangatlah berbahaya. Ia patut dianggap sebagai berbahaya sebab di satu sisi kehidupan yang tidak padu ini akan menjadi penghalang bagi para pengikut Kristus untuk hidup memenuhi panggilan Tuhan atas diri mereka sebagai garam dan terang dunia. Di sisi lain akan menjadikan diri mereka sama seperti orang Farisi yaitu sejajar dengan kebejatan para pemungut cukai dan orang yang tidak mengenal Allah.
Yang menjadi persoalan adalah kemunafikan tersebut justru membutakan mata hati, sehingga orang tidak menyadari bahwa dirinya sesungguhnya di dalam kebejatan. Itulah yang dialami oleh orang Farisi. Walaupun dirinya sesungguhnya sama bejatnya dengan para pemungut cukai dan orang yang mengenal Allah, namun orang Farisi menganggap dirinya lebih benar dari mereka semua.
Dengan kata lain, dengan hidup beribadah dalam kemurnian hati, bukan dalam kemunafikan, maka para pengikut Kristus akan dapat mempengaruhi dunia sebagai garam dan terang. Di samping itu dengan demikian mereka juga membangun relasi yang sehat, baik dalam relasi mereka dengan Tuhan, diri sendiri dan sesama. Itulah kehidupan yang sehat secara rohani, jiwani dan sosial. Itulah kehidupan yang utuh, padu, atau kehidupan yang penuh dengan makna. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar