Pengaruh merupakan salah satu kosa kata yang menarik perhatian banyak orang. Tak sedikit orang yang melihat bahwa kemampuan untuk mempengaruhi merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan. Seorang pedagang yang berhasil adalah orang yang mampu mempengaruhi orang lain untuk membeli produk yang ia pasarkan. Seorang guru yang berhasil adalah orang yang mampu mempengaruhi para muridnya untuk mempelajari ilmu yang ia ajarkan. Seorang ibu yang berhasil adalah orang yang mampu mempengaruhi anaknya untuk menaati nasihatnya. Seorang pemimpin yang berhasil adalah orang yang mampu mempengaruhi orang lain untuk mengikuti arahan yang ia berikan.
Menyadari pentingnya kemampuan untuk mempengaruhi orang lain ini, maka dari sejak zaman Aristoteles yang hidup 300 tahun sebelum Kristus orang sudah melakukan penelitian untuk menemukan faktor-faktor apakah yang membuat seseorang mampu mempengaruhi orang lain. Salah satu penelitian yang paling terkenal tentang bidang ini adalah penelitian yang disebut sebagai French & Raven's Five Bases of Power, atau Lima Dasar Kekuasaan French dan Raven.
Penelitian ini dilakukan pada tahun 1956 secara bersama-sama oleh dua orang ahli psikologi sosial dari dua perguruan tinggi yang berbeda. Kedua mereka adalah Dr. John French dari University of Michigan dan Dr. Bertram Raven dari University of California Los Angeles. Berdasarkan penelitian tersebut French dan Raven mengemukakan dua hal yang penting. Yang pertama kaitan antara kekuasaan atau power dengan pengaruh atau influence. Yang kedua yaitu adanya lima sumber kekuasaan yang menyebabkan seseorang dapat mempengaruhi orang lain.
French dan Raven mengemukakan bahwa kekuasaan adalah potensi untuk mempengaruhi. Semakin besar kekuasaan seseorang akan semakin besar potensi yang bersangkutan untuk mempengaruhi orang lain. Berarti untuk memperluas pengaruh seseorang perlu memperbesar kekuasaan yang ada padanya.
Lebih jauh lagi, French dan Raven menyimpulkan bahwa terdapat lima sumber atau dasar dari kekuasaan, yaitu Legitimate, Coercive, Reward, Referent, dan Expert, atau Keabsahan, Pemaksaan, Upah, Penghargaan dan Keahlian. Sebagai contoh adalah expert atau keahlian. Seorang mekanik bengkel mobil dapat mempengaruhi pelanggannya tentang mesin mobil yang dibawa ke bengkelnya karena si pelanggan beranggapan bahwa yang bersangkutan memang ahli dalam bidang tersebut. Karena itu si pelanggan rela apabila mesin mobilnya dibongkar oleh si mekanik. Tetapi apabila si mekanik bengkel memberi nasihat tentang perawatan jantung, saya yakin si pelanggan tidak akan mengijinkan si mekanik bengkel itu mengoperasi jantungnya, sebab jelas itu bukan keahlian yang bersangkutan.
Sumber kekuasaan yang lain ialah legitimate atau keabsahan. Sumber kekuasaan ini juga sering disebut sebagai positional atau kedudukan. Seseorang karena kedudukannya memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi orang lain. Contohnya, seorang polisi lalulintas yang meniup peluit sambil mengangkat tangan di perempatan jalan mampu menghentikan seluruh arus lalu lintas yang bergerak melewati perempatan jalan tersebut. Tetapi bila Anda bukan seorang polisi lalu lintas, kemudian berdiri di perempatan jalan, meniup peluit dan mengangkat tangan ke atas, kira-kira apa yang akan terjadi? Para pengguna jalan akan mengabaikan perintah Anda.
Pentingnya positional power inilah yang dikemukakan oleh perwira tentara Romawi di Kapernaum yang meminta pertolongan Yesus untuk menyembuhkan hambanya. Sebagaimana yang dicatat di dalam Lukas 7:1-10, pernyataan perwira ini kepada Yesus menunjukkan bahwa yang bersangkutan memahami tentang sumber dari positional atau legitimate power dan memahami keabsahan kekuasaan Yesus. Dari dalamnya kita dapat menarik pelajaran yang penting tentang prinsip otoritas rohani bagi para pengikut Kristus.
Lukas 7:1-10
1 Setelah Yesus selesai berbicara di depan orang banyak, masuklah Ia ke Kapernaum. 2 Di situ ada seorang perwira yang mempunyai seorang hamba, yang sangat dihargainya. Hamba itu sedang sakit keras dan hampir mati. 3 Ketika perwira itu mendengar tentang Yesus, ia menyuruh beberapa orang tua-tua Yahudi kepada-Nya untuk meminta, supaya Ia datang dan menyembuhkan hambanya. 4 Mereka datang kepada Yesus dan dengan sangat mereka meminta pertolongan-Nya, katanya: "Ia layak Engkau tolong, 5 sebab ia mengasihi bangsa kita dan dialah yang menanggung pembangunan rumah ibadat kami." 6 Lalu Yesus pergi bersama-sama dengan mereka. Ketika Ia tidak jauh lagi dari rumah perwira itu, perwira itu menyuruh sahabat-sahabatnya untuk mengatakan kepada-Nya: "Tuan, janganlah bersusah-susah, sebab aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku; 7 sebab itu aku juga menganggap diriku tidak layak untuk datang kepada-Mu. Tetapi katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh. 8 Sebab aku sendiri seorang bawahan, dan di bawahku ada pula prajurit. Jika aku berkata kepada salah seorang prajurit itu: Pergi!, maka ia pergi, dan kepada seorang lagi: Datang!, maka ia datang, ataupun kepada hambaku: Kerjakanlah ini!, maka ia mengerjakannya." 9 Setelah Yesus mendengar perkataan itu, Ia heran akan dia, dan sambil berpaling kepada orang banyak yang mengikuti Dia, Ia berkata: "Aku berkata kepadamu, iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai, sekalipun di antara orang Israel!" 10 Dan setelah orang-orang yang disuruh itu kembali ke rumah, didapatinyalah hamba itu telah sehat kembali.
I. Perwira ini memahami sumber dari positional power
Ketika Yesus pergi ke rumah si perwira untuk menolong hambanya, yang bersangkutan mencegahnya dengan keyakinan untuk menyembuhkan hambanya Yesus tidak perlu harus datang mengunjungi rumahnya. Ia meyakini bahwa cukup dengan mengucapkan sepatah kata saja maka hambanya pasti sembuh. Untuk memperjelas keyakinannya tersebut, perwira ini mengambil pelajaran dari pengalamannya sendiri di dalam dunia militer di mana positional atau legitimate power, yaitu kekuasaan berdasarkan keabsahan sangat berperan.
Tentang hal tersebut di dalam Lukas 7:8 ia berkata demikian: “Sebab aku sendiri seorang bawahan, dan di bawahku ada pula prajurit. Jika aku berkata kepada salah seorang prajurit itu: Pergi!, maka ia pergi, dan kepada seorang lagi: Datang!, maka ia datang, ataupun kepada hambaku: Kerjakanlah ini!, maka ia mengerjakannya."
Di sini perwira tersebut menjelaskan bahwa ia adalah seorang bawahan dan ia sendiri memiliki para prajurit sebagai bawahannya. Dengan demikian ia menjelaskan tentang struktur dari suatu positional power. Karena adanya positional power tersebut sehingga ia mampu mempengaruhi bawahannya, baik untuk pergi maupun datang sesuai dengan perintah yang ia berikan.
Pengaruh ini akan ia miliki selama ia secara absah menduduki posisi sebagai seorang perwira, dalam hal ini sebagaimana yang ditulis di dalam bahasa Yunani yaitu seorang centurion. Sebagai seorang centurion yang bersangkutan membawahi sekitar seratus prajurit infantri, dan ia berada di bawah kepemimpinan dari seorang centurion yang senior yang disebut sebagai Primi Ordines. Apabila yang bersangkutan tidak lagi menempatkan diri sebagai bawahan dari pimpinannya, maka secara otomatis ia akan kehilangan keabsahannya sebagai perwira, dan kehilangan pengaruhnya. Berarti ia memperoleh kekuasaan dari otoritas yang ada di atasnya. Ini merupakan suatu rangkaian atau rantai otoritas.
Kebenaran ini juga berlaku bagi para pengikut Kristus. Apabila seorang pengikut Kristus hidup di dalam penundukan diri kepada Tuhan, maka ia akan memiliki legitimate power terhadap Iblis dan para pengikutnya. Prinsip ini dikemukakan di dalam Yakobus 4:7 yang berbunyi: “Karena itu tunduklah kepada Allah, dan lawanlah Iblis, maka ia akan lari dari padamu!”
II. Perwira ini mengetahui hubungan perkataan dengan positional power
Di samping itu perwira ini juga mengetahui hubungan antara pengaruh perkataan dengan positional power. Selama seseorang memiliki kekuasaan yang absah, maka perkataan yang bersangkutan memiliki pengaruh yang besar dalam konteks kekuasaan yang ia sandang. Ia menjelaskan bahwa selama ia menyandang kedudukan yang sah sebagai seorang centurion maka perkataan yang ia ucapkan kepada bawahannya dalam kaitan tugas yang bersangkutan akan memiliki pengaruh. Demikian juga selama ia menyandang kedudukan yang sah sebagai seorang majikan terhadap hambanya, maka perintah yang ia sampaikan secara lisan akan ditaati oleh si hamba.
Berdasarkan prinsip tersebutlah maka perwira ini yakin bahwa perkataan yang Yesus sampaikan adalah penuh dengan kuasa. Sehingga bila Ia mengucapkan sepatah kata saja untuk memerintahkan agar penyakit yang membuat hambanya menderita untuk pergi, maka hambanya itu pasti akan sembuh. Di dalam Lukas 7:7 ia berkata demikian: “Tetapi katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh.”
Memang prinsip ini cukup banyak diselewengkan. Sebagai contoh pengajaran yang mengatakan bahwa bila seseorang ingin memperoleh kekayaan maka ia cukup mengucapkannya berulang-ulang dan akibatnya kekayaan tersebut akan menjadi miliknya. Namun adanya penyelewengan-penyelewengan doktrinal dari tata nilai Alkitabiah seperti itu tidak mengurangi kebenaran bahwa perkataan orang yang hidup di bawah otoritas Tuhan memang memiliki kuasa. Sama seperti kata surat Yakobus 4:7 di atas, bahkan ia dapat mengalahkan Iblis dengan perkataannya. Catatan di dalam Kisah Para Rasul menunjukkan bahwa perkataan para murid Kristus yang di dalam kuasa Tuhan telah membawa kesembuhan bagi mereka yang sakit, membawa pertobatan bagi banyak orang dan berbagai peristiwa adikodrati lainnya.
III. Perwira ini mengakui positional power dari Yesus
Sedemikian besarnya keyakinan perwira ini terhadap besarnya positional power yang ada di dalam diri Yesus, sehingga ia yakin bahwa tanpa Yesus harus bertatap muka secara langsung dengan hambanya, perkataan Yesus akan mampu menembus dimensi ruang dan mengakibatkan hambanya mengalami kesembuhan.
Dengan berkata demikian perwira ini menunjukkan keyakinannya terhadap kemahakuasaan Yesus, sehingga selaras dengan catatan kitab Mazmur tentang firman Tuhan yang menyembuhkan umat-Nya yang bertobat. Di dalam Mazmur 107:20 ditulis sebagai berikut: “Disampaikan-Nya firman-Nya dan disembuhkan-Nya mereka, diluputkan-Nya mereka dari liang kubur.”
Berarti secara tidak langsung perwira ini mengakui bahwa Yesus ada Tuhan yang disebut di dalam Mazmur tersebut. Hal ini membuat Yesus kagum kepada yang bersangkutan, sebab seperti yang Ia katakan di Lukas 7:9 bahkan orang Israel pun tidak memiliki keyakinan yang seperti itu.
Prinsip-prinsip positional power yang dikemukakan oleh perwira ini mengandung pelajaran penting bagi ototitas rohani seorang pengikut Kristus. Apabila seorang pengikut Kristus benar-benar mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan yaitu dengan menaklukkan dirinya di bawah otoritas-Nya, menaati firman-Nya, maka yang bersangkutan juga akan menerima otoritas rohani dari Tuhan. Dalam wibawa rohani itu seorang pengikut Kristus akan mampu mempengaruhi lingkungan sekitarnya, kebenaran yang selaras dengan firman Tuhan yang ia ucapkan akan disertai dengan kuasa Tuhan, dan yang bersangkutan akan hidup berkemenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar