Hari pertama saya bekerja selepas menyelesaikan kuliah di bidang teknik elektro kepala personalia perusahaan tempat saya bekerja meminjamkan sebuah buku kepada saya. Buku tulisan Dale Carnegie yang berjudul How to Win Friends and Influence People, Bagaimana Memperoleh Teman dan Mempengaruhi Orang. Buku itu saya lalap habis dalam semalam dan sangat membuka wawasan saya tentang bagaimana membangun relasi yang positif dengan orang lain. Suatu pengetahuan yang selama duduk di bangku kuliah tak pernah saya peroleh.
Buku kecil yang hanya setebal 300 halaman ini memang merupakan buku self help pertama yang paling laris jauh sebelum di masa kini muncul buku-buku sejenis lainnya yang tak kalah populer. Ia diterbitkan pertamakalinya pada tahun 1937 dan telah terjual lebih dari 15 juta eksemplar. Sampai hari ini pun buku ini masih dicetak dan masih merupakan salah satu buku terlaris di dunia.Di dalam buku tersebut Dale Carnegie, seorang penulis, pelatih public speaking dan penceramah dalam bidang pengembangan diri yang terkenal pada zamannya menuliskan langkah-langkah yang sangat praktis tentang ketrampilan untuk membangun relasi dan mempengaruhi orang lain. Bahasa yang mudah dimengerti yang ia gunakan dan petunjuk-petunjuk praktis yang sangat masuk di nalar yang ia paparkan membuat buku How to Win Friends and Influence People sangat laris, sehingga belum sampai setahun sejak buku tersebut diterbitkan ia telah dicetak ulang sampai 17 kali.
Namun alasan utama dari kelarisannya adalah tentu karena pada umumnya orang mengerti tentang pentingnya untuk mempengaruhi orang lain. Semua penjual barang tentu mengerti bahwa ia harus mampu mempengaruhi orang lain agar barang yang ia tawarkan laku terjual. Seorang pengusaha tentu mengerti bahwa ia harus mampu mempengaruhi para karyawannya agar mereka bersedia untuk bekerja semaksimal mungkin. Seorang politikus tentu mengerti bahwa ia harus mampu mempengaruhi masyarakat umum agar mereka bersedia menerima pemikiran yang ada di dalam benaknya.
Menjadi pribadi yang mampu mempengaruhi lingkungan itu pulalah yang Yesus inginkan bagi para pengikut-Nya. Untuk itu sebagaimana yang dicatat di dalam ketiga Injil Sinoptik, Yesus menggambarkan kehidupan para pengikut-Nya sebagai garam dunia. Rasul Matius mencatat hal ini sebagai bagian dari khotbah Yesus yang disebut sebagai Khotbah di Bukit dan disampaikan sesudah Ia memaparkan Delapan Sabda Bahagia. Hal tersebut ditulis di dalam Matius 5:13.
Matius 5:13
"Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.”
I. Panggilan untuk mempengaruhi dunia sekitar
Kepada para murid-Nya yang sedang mendengarkan khotbah yang Ia sampaikan di bukit tidak jauh dari Danau Galilea, Yesus mengutarakan bahwa mereka adalah sama seperti garam bagi dunia. Artinya Yesus memanggil mereka menjadi pengikut-Nya bukanlah tanpa tujuan, namun dengan maksud agar mereka menggarami dunia di sekitar mereka. Singkat kata mereka dipanggil untuk mempengaruhi dunia di mana mereka ditempatkan.
Penggunaan metafora atau gambaran sebagai garam ini sangatlah jitu. Sebab di dalamnya terkandung pelajaran-pelajaran yang sangat kaya. Dari sekian banyak fungsi tentang garam, setidaknya ada tiga pelajaran penting yang dapat kita ambil. Yang pertama, pada masa itu garam merupakan komoditi yang sangat berharga. Sedemikian berharganya sehingga pemerintah Romawi mengendalikan harga dari garam. Bahkan upah yang diterima oleh para prajurit Romawi disebut sebagai salarium yang artinya uang untuk membeli garam. Dari kata itulah kita memperoleh kata salary atau gaji di masa kini. Berarti dengan menyebut para murid-Nya sebagai garam dunia Yesus ingin menegaskan bahwa kehadiran mereka di dunia sangatlah berharga, sebab keberadaan mereka harus menentukan keadaan lingkungan mereka.
Kedua, garam pada masa itu merupakan bahan yang digunakan sebagai pengawet makanan. Pada masa di mana belum terdapat kulkas atau almari pendingin, orang menggarami bahan makanan seperti daging untuk mencegah pembusukan. Bahkan sampai sekarang pun praktek tersebut masih tetap dilakukan, misalkan dengan menggarami ikan ataupun sayuran untuk mengawetkannya.
Dengan demikian Yesus menjelaskan bahwa Ia memanggil para pengikut-Nya untuk mempengaruhi dunia dari pembusukan yang lebih dalam lagi. Memang dunia di mana kita hidup adalah dunia yang nilai-nilai kebenarannya semakin merosot. Apa yang benar malah di anggap tidak benar, dan yang salah justru dibenarkan. Dalam situasi yang semacam itu para murid Kristus harus mampu mempengaruhi lingkungan mereka untuk mencegah pembusukan yang lebih jauh.
Ketiga, garam merupakan bahan yang digunakan untuk memberikan cita rasa kepada makanan yang hambar. Sehingga dengan demikian makanan akan terasa lebih sedap dan meningkatkan selera makan. Berarti dalam hal ini secara tak langsung garam akan mempengaruhi kesehatan, sebab dengan mengubah kehambaran ia meningkatkan selera makan. Hal ini mempertegas pemahaman bahwa para pengikut Kristus haruslah hidup mempengaruhi lingkungan sekitarnya secara positif, yaitu dari mengubah hidup yang hambar menjadi hidup yang mengasihi Tuhan.
II. Perlunya kesediaan untuk membaur
Panggilan untuk mempengaruhi dunia sebagai garam ini sangat menarik sebab sebagaimana yang dicatat oleh Rasul Matius, ia disampaikan sesudah Yesus menyampaikan Sabda Bahagia. Di dalam Sabda Kedelapan dari Delapan Sabda Bahagia tersebut Yesus mengutarakan konskewensi dari hidup melakukan kebenaran dan menjadi pengikut-Nya, yaitu dicela, difitnah, dikucilkan bahkan dianiaya oleh lingkungan sekitar. Bagaimana mungkin orang yang dimusuhi dapat mempengaruhi mereka yang memusuhi dirinya?
Di sini kembali metafora atau gambaran para pengikut Kristus sebagai garam sangatlah tepat. Sebab ada dua prinsip penting tentang mempengaruhi yang dapat ditarik dari garam. Yang pertama untuk dapat mempengaruhi garam harus dicampurkan dengan apa saja yang akan dipengaruhi. Bila garam tetap berada di dalam botol wadah dimana ia disimpan maka sampai kapan pun ia tidak akan dapat berfungsi untuk mempengaruhi keadaan sekitarnya. Ia harus dikeluarkan dari dalam botolnya, dan dicampurkan dengan makanan yang akan diasinkan ataupun diawetkan. Hanya dengan demikian ia dapat berfungsi sebagaimana seharusnya.
Prinsip ini menegaskan bahwa para pengikut Kristus tak boleh bersikap eksklusif, atau tertutup terhadap lingkungan sekitarnya. Walaupun dimusuhi, dibenci, bahkan dianiaya, ia harus tetap bersedia untuk bergaul dan membaur dengan lingkungannya. Sikap bersahabat terhadap semua orang dengan menggunakan jembatan kasih merupakan sarana bagi para pengikut Kristus untuk memenuhi panggilannya, yaitu menggarami dunianya.
Justru sikap tertutup, tidak mau bergaul dan tidak perduli terhadap lingkungannya membuat para pengikut Kristus tak disukai oleh lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini tidak disukai bukan karena iman mereka kepada Kristus, namun karena perilaku mereka yang memisahkan diri dari lingkungannya. Sehingga sikap eksklusif ini bukan saja akan membuat dirinya semakin tak disukai oleh lingkungannya, tetapi juga akan menumpulkan kekristenan itu sendiri.
Prinsip yang kedua yang tak kalah pentingnya yaitu, di dalam membaur garam haruslah mengasinkan, bukan sebaliknya malahan dihambarkan oleh lingkungannya. Saat garam dicampurkan ke dalam sayuran, ia akan mengasinkan sayuran tersebut, bukan dihambarkan olehnya. Dengan kata lain di dalam bergaul serta membaur dengan lingkungannya pengikut Kristus haruslah mempengaruhi mereka secara positif, bukan sebaliknya dipengaruhi oleh lingkungannya secara negatif.
Hal ini sangat perlu diingat, sebab tak jarang terdapat pengikut Kristus yang demi diterima oleh lingkungan sekitarnya ia mengkompromikan diri dengan menyerap nilai-nilai-nilai yang hambar dari lingkungan tersebut. Sehingga bukannya yang bersangkutan membawa lingkungannya kepada Tuhan, tetapi sebaliknya malahan ia yang terseret menjadi jauh dari Tuhan. Artinya di dalam memenuhi panggilannya para pengikut Kristus haruslah membaur untuk mempengaruhi, bukan bersikap eksklusif ataupun membaur untuk berkompromi dan dipengaruhi.
III. Perlunya tata nilai yang berbeda
Itu sebabnya Yesus berkata bahwa agar si garam dapat berfungsi sebagaimana mustinya, maka ia harus memiliki keasinan atau bukan dalam keadaan yang hambar. Ia berkata: “Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.”
Memang garam dianggap sebagai bahan yang bernilai bukan karena kehalusan dari butirannya ataupun keputihan dari warnanya tetapi karena keasinannya. Walaupun butiran garam itu sangat halus dan warnanya sangat putih, namun kalau ia tidak asin alias tawar, maka ia tidak akan ada gunanya. Singkat kata, agar para pengikut Kristus dapat mempengaruhi dunia sekitarnya, maka bukan penampilan luarnya yang penting, namun nilai-nilai luhur dalam hidupnyalah yang menentukan.
Memang sama seperti adalah baik bila butiran garam itu halus dan putih warnanya, demikian juga adalah baik bila penampilan lahiriah para pengikut Kristus terlihat rapih dan nyaman untuk dilihat. Namun semua itu tidak akan ada gunanya bila mereka hidup di dalam ketidak-benaran sama seperti kehambaran dari lingkungan sekitarnya. Hanya dengan hidup berbeda terhadap lingkungannyalah maka para pengikut Kristus dapat mempengaruhi mereka. Di tempat kerja misalnya. Bila seorang pengikut Kristus hidup sama korupnya dengan rekan-rekan sekerjanya, maka ia tidak akan mampu mempengaruhi mereka secara positif.
Alih-alih dari mempengaruhi mereka, sama seperti garam yang dibuang dan diinjak orang, demikian pula justru si pengikut Kristus ini akan menjadi bahan cemoohan dan nama Tuhan dipermalukan di sana. Memang tak jarang orang menolak kekristenan bukan semata-mata karena mereka menolak iman terhadap Yesus, tetapi karena perilaku pengikut Kristus yang tak selaras dengan ajaran Alkitab. Sehingga kehadiran orang Kristen tersebut bukannya membawa pengaruh positif terhadap lingkungannya, malahan mengakibatkan nama Tuhan dihina dan disepelekan.
Saudara-saudari, panggilan untuk menjadi garam dunia ini sangatlah penting, sebab dengan demikian kita mengerti bahwa betapa Tuhan Yesus menghargai keberadaan kita dan memberikan kepercayaan yang sangat besar. Melalui diri kita, para pengikut-Nya, Ia ingin mengubah dunia sekitar kita. Artinya kasih karunia atau anugerah-Nya yang membawa kita menjadi para pengikut-Nya mengubah kehidupan kita dari kehidupan yang tak berarti menjadi penuh dengan arti. Dari kehidupan tanpa tujuan menjadi bertujuan yang mulia. Dari kehidupan yang sia-sia menjadi kehidupan yang penuh dengan makna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar