Tanggal 16 April 2007 masyarakat dunia dikejutkan oleh peristiwa pembunuhan yang dilakukan secara membabi buta di kampus Virginia Polytechnic Institute and State University, Amerika. Pembunuhan yang menelan korban 32 orang termasuk di antaranya seorang mahasiswa doktoral dari Indonesia ini dilakukan oleh seorang mahasiswa yang berasal dari Korea dan yang bernama Cho Seung Hui. Sesudah melakukan rangkaian pembunuhan dengan menggunakan senjata api tersebut Cho membunuh dirinya sendiri.
Di dalam penelitian didapati bahwa Cho sesungguhnya mengalami kelainan kejiwaan sejak ia masih duduk di bangku sekolah menengah. Ejekan teman-temannya terhadap dirinya karena kesulitan bicara yang ia alami saat masih duduk di sekolah menengah memperparah tekanan jiwa yang ia derita.
Catatan yang ia tinggalkan di dalam kamarnya serta beberapa rekaman video yang ia kirimkan kepada sebuah studio televisi penuh berisi pernyataan yang menggambarkan kemarahannya terhadap anak-anak yang kaya, serta terhadap orang-orang yang ia anggap penipu dan yang telah memojokkan dirinya. Kemarahan disertai dengan ketidak stabilan jiwanya telah mengakibatkan tindakan agresif yang sangat mengerikan.
Saudara-saudari, tentu tidak semua orang yang diliputi dengan rasa marah akan bertindak seperti Cho Seung Hui. Namun peristiwa ini menunjukkan kepada kita betapa rasa marah yang tidak pada tempatnya dapat mengakibatkan dampak yang sangat berbahaya. Dengan kata lain kemarahan dapat dipersamakan sebagai akar suatu pohon yang tersembunyi dalam tanah, sedangkan tindakan pembunuhan merupakan pokok pohon yang nampak di permukaan. Tak ada pokok pohon yang bertumbuh tanpa memiliki akar yang menunjangnya.Oleh karena menebang pokok pohon saja tanpa mencabut akarnya bukan suatu penyelesaian yang tuntas.
Bila hal itu dikaitkan dengan ketaatan kepada hukum-hukum moral di dalam Kitab Suci, ketaatan tersebut memang sangatlah diperlukan. Namun bila ketaatan itu hanya sebatas ketaatan lahiriah saja seperti yang diajarkan oleh para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya ia tidak menyelesaikan masalah kemerosotan moralitas manusia, sebab ia tidak menyentuh akar persoalan yang tertanam di dalam hati manusia. Itulah yang diajarkan oleh Tuhan Yesus di dalam khotbah-Nya sesudah Ia mengutarakan Delapan Sabda Bahagia, panggilan bagi para pengikut-Nya untuk mempengaruhi dunia dan kewajiban para pengikut-Nya untuk menaati hukum-hukum moral di dalam Kitab Suci.
Untuk itu pertama-tama Ia mengungkapkan akar dari tindak kejahatan dalam bentuk pembunuhan dan apa yang harus dilakukan untuk mencabut akar dari kejahatan ini. Hal tersebut dicatat di dalam Matius 5:21-26.
Matius 5:21-26
21 Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. 22 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. 23 Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, 24 tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. 25 Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. 26 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.
I. Kemarahan yang tak dibenarkan
Di dalam Alkitab pembunuhan terhadap manusia dibedakan menjadi dua, yang pertama dilarang oleh Tuhan dan yang kedua diijinkan. Bentuknya sama, yaitu sama-sama menghilangkan nyawa orang, yang membedakan adalah motivasi dibalik tindakan tersebut. Yang pertama dalam bahasa Inggris disebut sebagai murder, yaitu tindakan menghilangkan nyawa orang karena niatan jahat atau kebencian. Misalkan membunuh karena ingin merampas harta orang lain, atau membunuh karena kebencian seperti yang dilakukan oleh Kain terhadap Habel adiknya sebagaimana yang dicatat di dalam Kejadian 4. Tindakan ini merupakan kejahatan di hadapan Tuhan.
Yang kedua dalam bahasa Inggris disebut sebagai kill, ini merupakan tindakan menghilangkan nyawa orang demi menegakkan hukum atau membela negara dari serangan musuh. Tindakan ini dibenarkan di dalam Alkitab sebab motivasi yang melatar belakanginya bukanlah niatan jahat tetapi untuk melindungi nyawa orang lain.
Demikian juga dengan kemarahan. Ada kemarahan yang dapat dibenarkan, yaitu kemarahan karena melihat dosa dan tindakan yang merusak yang dilakukan oleh seseorang. Sebagai contoh saat Yesus melihat bagaimana para pemimpin agama Yahudi menyelewengkan Bait Allah di Yerusalem dari tujuan keberadaannya yang sebenarnya yaitu dengan membiarkannya sebagai tempat berjual beli, Ia pun dengan marah bertindak tegas terhadap orang-orang yang telah merusak nilai kerohanian dari rumah Allah tersebut.
Namun ada bentuk kemarahan yang lain yang dipersamakan oleh Yesus sebagai tindakan pembunuhan atau murder yang dilarang Kitab Suci. Kemarahan tersebut digambarkan Tuhan Yesus sebagai kemarahan yang membuat orang berkata “kafir” dan “jahil” kepada saudaranya. Kata yang diterjemahkan di dalam Alkitab bahasa Indonesia sebagai “kafir” itu adalah racca sedangkan kata “jahil” adalah more.
Kata racca merupakan kata dalam bahasa Aram, bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari oleh orang Israel pada zaman itu. Secara harafiah ia berarti kosong, dan makna ungkapan itu sendiri adalah “kepala kosong.” Kata ini diucapkan sebagai suatu penghinaan yang luar biasa terhadap orang lain dan secara tak langsung juga merupakan penghinaan kepada Tuhan yang menciptakan manusia dalam citra-Nya.
Sedangkan kata more adalah bahasa Yunani yang artinya bebal. Mengucapkan kata ini tidak semata-mata dapat dipersalahkan, sebab seperti yang dicatat di dalam Matius 23:17 Yesus pun juga mengucapkan kata yang sama terhadap orang-orang Farisi. Tetapi di dalam konteks khotbah Yesus ini ia merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Ibrani yang artinya murtad. Sehingga sabda Yesus tentang hal tersebut dapat diartikan “siapa yang berkata: “Engkau pantas masuk neraka! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.”
Singkat kata, kedua-duanya baik racca maupun more yang diiucapkan terhadap seorang saudara merupakan ungkapan kemarahan dengan kebencian yang sangat dalam. Kebencian inilah yang membuatnya sama dengan tindakan pembunuhan. Ia pula yang menjadi salah satu alasan orang melakukan pembunuhan. Karena itu di dalam surat 1Yohanes 3:15 dikatakan: “Setiap orang yang membenci saudaranya, adalah seorang pembunuh manusia.”
II. Dampak dari rasa marah
Kalaupun kemarahan yang diwarnai dengan kebencian ini tidak diwujudkan dengan pembunuhan ataupun kata-kata penghinaan seperti yang dicontohkan oleh Tuhan Yesus, ia sendiri akan merugikan kehidupan orang yang menyimpannya. Dampak kerugian tersebut setidaknya dalam dua hal. Yang pertama yaitu dalam hal kesehatan rohani yang bersangkutan.
Karena itu di dalam Matius 5:23-24 Tuhan Yesus berkata: “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.”
Kebencian terhadap seorang saudara akan menghalangi hubungan kita dengan Tuhan. Karena Tuhan yang menciptakan yang bersangkutan dan mengasihi semua manusia di dalam segala keberadaannya. Hal ini mengacu kepada tindakan Kain yang membenci Habel adiknya sehingga membunuh yang bersangkutan. Sebagai akibat Kain harus pergi dari hadapan Allah. Artinya hubungannya dengan Tuhan semakin rusak.
Yang kedua yaitu berdampak terhadap kesehatan sosial yang bersangkutan. Hubungannya dengan sesama saudara menjadi rusak. Hal ini dipersamakan Yesus dengan orang yang berhutang kepada seseorang dan tidak membayar hutangnya. Sebagaimana lazimnya, seseorang yang berhutang dan tak membayar hutangnya akan berusaha menghindari orang yang menghutangi dirinya. Sebagai akibat hubungan sosial mereka berdua menjadi rusak. Untuk itu di dalam Matius 5:25-26 Tuhan Yesus berkata: “Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.”
III. Langkah untuk menyelesaikan kemarahan
Solusi yang Yesus berikan untuk kemarahan terhadap seseorang adalah berdamai dengan yang bersangkutan. Sebelum orang tersebut mempersembahkan korban kepada Tuhan, ia harus terlebih dahulu berdamai dengan saudaranya yang ia benci. Sebelum kebencian tersebut berubah menjadi persengketaan di pengadilan ia harus terlebih dahulu berdamai dengan musuhnya.
Menarik sekali, Yesus berkata perdamaian dengan saudara tersebut dalam kaitan ibadah di rumah Tuhan, sedangkan perdamaian dengan lawan terjadi di jalan. Artinya tindakan berdamai ini harus dilakukan dengan semua orang, baik itu saudara maupun lawan, dan di semua tempat, baik dalam rumah Tuhan maupun di jalan.
Kehidupan yang berdamai dengan semua orang inilah yang memungkinkan pengikut Kristus berperan sebagai garam dan terang di tengah dunia. Sebab garam mempengaruhi lingkungannya bukan karena kehalusan butiran maupun keputihan dari warnanya, tetapi keasinan yang di kandungnya. Demikian juga pelita akan mempengaruhi kegelapan di sekitarnya karena cahayanya yang tak ditutup dengan gantang. Begitu pula pengikut Kristus akan mempengaruhi lingkungan di sekitarnya yang penuh kebencian dengan sikap hatinya yang penuh damai.
Lebih jauh lagi, bukan saja tindakan berdamai ini menyelesaikan akar kebencian di dalam hati yang dapat berubah menjadi tindakan kekerasan seperti pembunuhan, ia juga menyehatkan kehidupan rohani dan sosial dari orang yang mengamalkannya. Sehingga dengan demikian sebaliknya dari hidup dalam kebencian yang merusak dirinya sendiri, yang bersangkutan akan hidup dalam kehidupan yang sehat dan bermakna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar