Alkisah dua ekor bangau dan seekor katak hidup bersama dengan serasi di sebuah kolam yang terletak cukup jauh dari keramaian. Dalam persahabatan yang erat mereka suka berenang dan bermain bersama di kolam yang terpencil itu. Bila sore tiba, mereka suka menyanyi dalam paduan suara yang indah. Sang katak mengorek dan kedua bangau menimpalinya dengan kuak-kuak mereka yang merdu. Singkat kata mereka bertiga hidup rukun penuh bahagia.
Sayang kebahagiaan ini terganggu ketika suatu saat musim kemarau yang panjang melanda wilayah di mana mereka hidup. Kolam tempat dimana mereka tinggal mulai menyusut airnya dan tak lama kemudian menjadi kering kerontang. Tidak ada pilihan lain, kalau ingin tetap bertahan hidup mereka harus pindah ke kolam yang lain. Hal ini tentu tidak menjadi persoalan bagi kedua bangau tersebut, mereka dengan mudah dapat terbang mencari kolam lain yang masih berisi air. Tetapi tidak demikian halnya dengan si katak. Bila tidak ditemukan jalan keluar maka si katak pasti akan mati di kolam yang kering itu.
Sebagai sahabat karib kedua bangau tadi tidak tega meninggalkan si katak seorang diri. Sesudah memutar akal, akhirnya mereka menemukan solusi yang baik. Kedua ekor bangau akan mengigit sepotong ranting dengan paruh mereka. Masing-masing menggigit salah satu ujung dari ranting tersebut sehingga si katak dapat bergantung padanya dengan mulutnya sementara mereka terbang berpindah ke tempat yang lain.
Rencana ini berjalan dengan mulus. Mereka terbang menuju ke kolam lain yang konon kabarnya masih berair. Sementara mereka melintasi suatu daerah pertanian, seorang petani yang sedang bekerja di ladang menengok ke atas dan terkagum-kagum melihat kerjasama yang luar biasa ini. Pak petani pun berkata: “Wah ini sungguh ide yang sangat cemerlang. Siapa yang punya ide ini ya?” Mendengar pujian tersebut si katak menjawab: “Aku….” Dan ia jatuh serta mati terhempas ke tanah.
Saudara-saudari kisah ini memberikan pelajaran penting tentang perlunya hidup dalam kerendahan hati. Kesombongan dan suka membanggakan diri sendiri justru akan mendatangkan bencana dalam kehidupan. Bahkan secara kerohanian, sikap hidup ini justru menjadi penghalang bagi seseorang untuk hidup dekat dengan Tuhan. Walaupun nampaknya yang bersangkutan banyak mengamalkan perbuatan yang baik dan giat mengerjakan kegiatan keagamaan, namun bila itu dilakukan hanya untuk memperoleh pujian demi memuaskan kesombongan, sesungguhnya semuanya adalah kegiatan yang sia-sia di mata Tuhan. Itulah yang Yesus ajarkan di dalam khotbah-Nya tentang perlunya sikap rendah hati dalam memberi sedekah sebagaimana yang dicatat di dalam Matius 6:1-4
Matius 6:1-4
1 "Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga. 2 Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. 3 Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. 4 Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."
I. Jangan meninggikan diri sendiri
Di dalam bagian khotbah-Nya yang sebelumnya Yesus memperbandingkan enam pengajaran yang disampaikan oleh para pemimpin agama Yahudi dengan apa yang sesungguhnya dimaksudkan Tuhan di dalam memberikan firman-Nya. Dengan demikian Yesus menjelaskan pentingnya untuk memahami motivasi di balik setiap tindakan serta tujuan Tuhan dibalik setiap firman yang Ia sampaikan. Hanya dengan demikian barulah seseorang dapat menjalankan kehidupan keagamaan atau mengembangkan kerohanian dengan benar.
Lebih jauh di dalam Matius 6:1 Yesus menjelaskan pentingnya untuk memerika motivasi di dalam melakukan kegiatan keagamaan itu sendiri. Sebab bisa jadi seseorang yang melakukan kegiatan keagamaan yang benar namun motivasi di balik kegiatan itu adalah salah. Sehingga akibatnya kegiatan yang benar itu tidak menghasilkan hal yang benar. Untuk itu Ia berkata demikian: "Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.”
Nasihat Tuhan Yesus ini bila dibandingkan dengan apa yang Ia ajarkan di dalam Matius 5:16 bisa jadi nampak saling bertolak belakang. Di sana Tuhan Yesus berkata: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” Sedangkan di dalam Matius 6:1 Ia mengingatkan agar para pengikut-Nya tidak menjalankan kewajiban agamanya di depan mata orang. Jadi sesungguhnya mana yang benar?
Saudara-saudari, kedua bagian firman Tuhan ini memiliki konteks yang berbeda. Apa yang Yesus ajarkan di dalam Matius 5:16 adalah dalam konteks perbuatan baik sebagai kesaksian di tengah masyarakat untuk mempengaruhi mereka. Untuk itu maka perbuatan baik tersebut haruslah diwujudkan dalam bentuk tindakan-tindakan yang nyata bukan sekedar hanya suatu niatan yang tak diwujudkan. Sebaliknya niatan tersebut harus diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan baik yang nyata dan manfaatnya dapat dirasakan oleh orang lain. Dan semua itu harus dilakukan dengan tujuan agar orang memuliakan nama Tuhan.
Sedangkan apa yang Ia sampaikan di dalam Matius 6:1 adalah dalam konteks orang melakukan kegiatan kerohanian dengan tujuan sebagai ibadah kepada Tuhan. Bila orang melakukannya bukan dengan tujuan untuk menyenangkan hati Tuhan tetapi agar dirinyalah yang ditinggikan maka kegiatan yang baik itu tidak benar di hadapan Tuhan. Orang yang bertujuan sedemikian akan memamerkan kegiatan keagamaan yang dia kerjakan di depan orang. Tentang hal itu Yesus berkata bahwa orang tersebut tidak akan memperoleh upah dari Allah, atau dengan kata lain kegiatan keagamaan yang dia kerjakan tak berarti alias sia-sia di mata Tuhan.
II. Jangan mencari penghargaan manusia
Salah satu dari kegiatan keagamaan yang semacam itu adalah dalam bentuk memberi sedekah atau bantuan kepada orang yang miskin. Apabila perbuatan ini dilakukan dengan tujuan agar yang bersangkutan dipuji orang maka sesungguhnya apa yang ia lakukan tersebut sama dengan kemunafikan. Tentang hal tersebut Yesus berkata demikian: “Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.”
Kata munafik yang Yesus katakan tentang orang itu, atau dalam bahasa Yunani yaitu hypokrites artinya adalah orang yang bermain sandiwara. Artinya yang bersangkutan memerankan pribadi yang sesungguhnya bukan dirinya yang sebenarnya. Kata ini bila diterapkan pada diri seseorang yang bukan sedang bermain sandiwara di dalam suatu pertunjukan ia mengandung pemahaman yang negatif, yaitu bahwa orang tersebut sedang hidup dalam kepura-puraan.
Dengan kata lain, bila seseorang mencanangkan permuatan amal yang ia kerjakan agar dipuji orang, maka patut diduga yang bersangkutan sedang mencoba menutupi keadaan dirinya yang sebenarnya. Sebab tak jarang orang yang melakukan perbuatan yang baik dengan tujuan untuk memperoleh pujian dari manusia sesungguhnya adalah untuk menutupi tuduhan hatinya atas kebejatan dirinya sendiri.
Yesus berkata bahwa perbuatan orang ini tidak akan memperoleh balasan dari Tuhan, sebab yang bersangkutan sudah memperoleh balasan dari manusia, yaitu pujian yang diberikan kepadanya. Berarti kegiatan keagamaan yang ia kerjakan tidak akan membawa dampak rohani yang positif terhadap dirinya. Kehidupan rohani yang bersangkutan tidak akan bertumbuh menjadi sehat, sebab sesungguhnya ia melakukan semua itu hanya untuk membungkus kegelapan yang ada di dalam hidupnya. Berarti tindakan itu tak akan mengubah hatinya dan tak akan meluruskan hidupnya.
III. Carilah penghargaan dari Allah
Sebaliknya dari mencanangkan sedekah yang dilakukannya, Tuhan Yesus menegaskan bahwa orang seharusnya melakukannya tanpa menceritakannya kepada orang lain. Khususnya bila hal tersebut dilakukan untuk memperoleh pujian orang. Karena itu Yesus berkata “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.”
Tentu apa yang Yesus katakan ini tidak boleh ditafsirkan secara harafiah. Sebab tentu tidaklah mungkin apa yang dilakukan oleh tangan kiri tidak diketahui oleh tangan kanan. Juga hal ini tidak boleh ditafsirkan bila seorang suami memberikan bantuan keuangan kepada orang lain maka ia boleh apalagi harus merahasiakannya dari istrinya. Tentu bila itu yang ia lakukan akibatnya tanpa sadar terjadi kerenggangan dalam rumah tangga sebab antara suami maupun istri saling menyimpan rahasia yang tidak semustinya.
Juga bukan berarti bahwa perbuatan baik ini sama sekali tak diketahui oleh orang lain untuk menjadi inspirasi bagi orang lain untuk mengerjakannya. Rasul Paulus pun seperti yang ia katakan di dalam 2Korintus 9:12 menceritakan apa yang dilakukan oleh jemaat Korintus dalam membantu orang-orang miskin di Yerusalem kepada orang-orang di Makedonia dengan tujuan untuk menginspirasi mereka agar melakukan hal yang sama.
Tetapi yang Yesus maksudkan di sini adalah bila seseorang melakukan kebaikan hendaknya itu tidak diberitahukan kepada orang lain agar dirinya dipuji. Sebaliknya biarlah ia melakukannya untuk memperoleh penghargaan dari Tuhan saja. Karena itu Ia berkata demikian: “Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”
Saudara-saudari, berarti tidak semua perbuatan baik yang dibuat oleh seseorang dengan sendirinya akan mendatangkan manfaat bagi kehidupan rohaninya. Apabila yang bersangkutan melakukannya untuk memuaskan kesombongannya dan menutupi kebejatan dirinya, maka bukan saja perbuatan itu sia-sia secara rohani, ia juga akan menjadi penghalang bagi relasi yang bersangkutan dengan Tuhan. Sebab seperti yang dikatakan di dalam surat Yakobus 4:6, Tuhan menentang orang yang congkak. Sehingga alih-alih dari mendatangkan kebaikan malahan perbuatan tersebut semakin menjauhkan diri yang bersangkutan dari Tuhan.
Sebaliknya apabila orang melakukan perbuatan yang baik, seperti misalnya memberikan sedekah untuk menyenangkan hati Tuhan, sehingga ia tidak merasa perlu menceritakannya kepada manusia untuk memperoleh pujian, justru hal itu akan mendatangkan berkat Tuhan dalam diri yang bersangkutan. Bukan saja relasi yang bersangkutan dengan orang lain menjadi semakin indah, relasinya dengan dirinya sendiri dan dengan Tuhan pun akan bertambah sehat. Dengan kata lain, hidup yang bersangkutan akan bertambah bugar dan semakin bermakna. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar