Bagi saya hari-hari di minggu pertama bulan Oktober tahun 2006 sungguh sangat sulit untuk saya lupakan, hari-hari itu di mana saya benar-benar berada di persimpangan jalan. Pekan itu saya berada daerah Cisarua, dekat kota Bogor, memimpin Kongres Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia atau PGLII. Ini merupakan suatu persekutuan dari 86 organisasi gereja Injili dan 104 yayasan, yang beranggotakan sekitar 10.000 gereja di Indonesia. Selama empat saya telah melayani sebagai ketua umum dari organisasi ini. Selama empat tahun tersebut hampir setiap hari saya melakukan perjalanan antara Bandung dan Jakarta. Karena sebagai organisasi yang mewakili gereja-gereja Injili secara nasional bukan saja kantor PGLII berada di Jakarta, namun juga berbagai urusan yang berkaitan dengan pemerintah juga harus diselesaikan di Jakarta.
Menjelang akhir kongres, mendekati saat pemilihan pengurus yang baru para peserta kongres secara terbuka mendesak saya untuk menjabat kembali sebagai ketua umum dari organisasi ini. Secara aklamasi mereka mendaulat saya untuk meneruskan kepemimpinan untuk periode empat tahun berikutnya. Apabila saya menerima desakan para peserta ini maka hal ini akan menjadi suatu peristiwa yang bersejarah, di mana untuk pertama kalinya ketua umum Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia dipilih secara aklamasi.
Saya katakan hari-hari itu saya berada di persimpangan jalan, sebab saya menyadari bahwa harapan para peserta dalam kongres terhadap saya ini tak boleh diremehkan. Namun pada saat yang sama hati saya sedang memikirkan keluarga saya, khususnya kedua anak saya yang saat itu masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Mereka sedang berada di usia pancaroba sebagaimana layaknya anak-anak yang baru menginjak usia remaja. Selama empat tahun saya memimpin PGLII sebagai ketua umum, hampir-hampir saya tidak memiliki waktu bersama mereka. Waktu saya tersita habis oleh berbagai tanggungjwab pelayanan yang saya emban di berbagai lembaga, khususnya di kepengurusan PGLII.
Saat itu saya teringat sebuah tulisan yang saya baca beberapa minggu sebelum acara kongres tersebut, bahwa di saat seorang mendekati akhir hidupnya, sangat jarang yang akan berkata: “Ah, kalau saja aku memiliki waktu yang cukup untuk lebih mengembangkan karierku.” Kebanyakan orang akan berkata: “Ah, kalau saja di masa hidupku aku memberikan waktu yang cukup untuk keluargaku.” Kebenaran dalam tulisan ini tertoreh dalam-dalam di hati saya. Saya menyadari bahwa selama itu saya tidak cukup memberikan waktu untuk mendampingi anak-anak saya yang sedang memasuki masa-masa peralihan dari kanak-kanak ke usia remaja, masa-masa yang yang kritis dan menentukan masa depan mereka baik secara rohani maupun berbagai sisi kehidupan lainnya.
Akhirnya sesudah membicarakannya secara mendalam dengan para senior saya di dalam tubuh PGLII dan rekan-rekan pelayanan saya yang menghadiri acara kongres tersebut, di tengah hujan keberatan dari banyak peserta kongres saya menyatakan bahwa saya tak bersedia untuk dipilih kembali sebagai ketua umum dari lembaga yang saya sangat hargai tersebut. Saya berkata kepada para peserta kongres: “Banyak orang dapat menggantikan saya sebagai ketua umum PGLII, namun tak ada orang yang dapat menggantikan saya sebagai ayah dari kedua anak saya yang masih remaja ini. Berikanlah kepada saya kesempatan untuk mendampingi kedua anak saya melewati masa remaja mereka dengan baik.”
Selesai sesi di mana saya menyampaikan pernyataan saya tersebut, dua orang hamba Tuhan menemui saya secara terpisah. Masing-maing mereka dengan air mata yang berlinang berkata kepada saya: “Pak Bambang, kalau saja beberapa tahun yang lalu saya melalukan seperti yang Bapak lakukan, yaitu tidak mengorbankan waktu yang seharusnya diberikan kepada anak saya demi pelayanan, maka kemunginan besar anak saya tidak terlibat dalam narkoba seperti hari ini. Sementara saya berhasil di dalam pelayanan tanpa saya sadari anak saya jatuh ke dalam jerat obat bius.” Mendengar pengakuan kedua teman hamba Tuhan tersebut hati saya menangis bersama mereka.
Saudara-saudari, kita perlu membangun keseimbangan yang baik antara mengembangkan karier dengan tanggungjawab kita di dalam rumah tangga. Tentu kita tidak menginginkan sementara karier kita mengalami kemajuan pada saat yang sama relasi di dalam rumah tangga, baik antara suami istri, orang tua dan anak maupun sesama ssudara di dalam keadaan berantakan. Keseimbangan antara tanggungjawab karier dan relasi sosial baik dalam keluarga maupun sesama rekan pelayanan itulah yang diteladankan oleh Yesus di dalam kehidupan-Nya, seperti yang dicatat di dalam Yohanes 2:11-12.
Yohanes 2:11-12
11 Hal itu dibuat Yesus di Kana yang di Galilea, sebagai yang pertama dari tanda-tanda-Nya dan dengan itu Ia telah menyatakan kemuliaan-Nya, dan murid-murid-Nya percaya kepada-Nya. 12 Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama dengan ibu-Nya dan saudara-saudara-Nya dan murid-murid-Nya, dan mereka tinggal di situ hanya beberapa hari saja.
I. Sikap Yesus terhadap tanggungjawab ke-Mesiasan-Nya
Sebagaimana yang ditulis di dalam Yohanes 2:11, Yesus melakukan mujizat di dalam perjamuan kawin di Kana yaitu dengan mengubah air menjadi air anggur sebagai tanda dari ke-Mesiasan-Nya serta untuk menunjukkan kemuliaan-Nya. Ia menjalankan tujuan kehadiran-Nya di muka bumi yaitu sebagai Sang Mesias dengan penuh tanggungjawab. Ia tidak bersikap sembrono atau meremehkan tanggungjawab-Nya ini.
Saat Ia mengungkapkan kemuliaan dan keilahian-Nya sebagai Sang Mesias Ia tidak segan-segan menjelaskan kepada Maria, ibu-Nya, bahwa Dialah yang memegang kendali atas apa yang akan Ia lakukan untuk menunjukkan kemuliaan-Nya itu dan kapan Ia akan melakukannya. Walaupun memang benar Ia adalah anak Maria, namun dalam hal ke-Mesiasan-Nya Maria tak boleh mengatur atau mengendalikan diri-Nya. Itu sebabnya seperti yang dicatat di dalam Yohanes 2:4, menanggapi pemberitahuan Maria bahwa pesta perkawinan yang mereka hadiri itu sedang mengalami kesulitan yaitu kehabisan air anggur, Yesus berkata: “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba.”
Kalimat tersebut mengandung tiga pesan. Pertama, Ia menyebut Maria sebagai ibu bukan dengan kata yang kalau dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai mother, atau ibu yang melahirkan-Nya. Tetapi Ia menggunakan kata ibu yang dapat diterjemahkan sebagai dear woman, sama dengan kata ibu dalam bahasa Indonesia yang kita gunakan untuk menyapa seorang wanita yang kita hormati. Melaluinya Ia menegaskan bahwa Ia menghormati Maria, namun dalam hal ke-Mesiasan-Nya Maria tak boleh mengendalikan diri-Nya. Kedua, dengan menggunakan idiom “Mau apakah engkau dari pada-Ku,” sebenarnya Yesus sedang berkata: “Biarkan Aku yang mengatasinya.” Artinya Ia berkata kepada Maria: “Aku memegang kendali atas penyelesaian masalah ini.” Ketiga, dengan berkata: “Waktu-Ku belum tiba” Ia bermaksud untuk mengatakan: “Aku tahu kapan Aku harus bertindak.” Singkat kata, melalui kalimat itu Yesus menegaskan bahwa sebagaimana Ia tak meremehkan ke-Mesiasan-Nya demikian juga Maria harus menghargai ke-Mesiasan-Nya itu.
II. Sikap Yesus kepada anggota keluarga-Nya
Namun walaupun Yesus meminta Maria menghargai diri-Nya sebagai Sang Mesias, pribadi ilahi yang sesungguhnya adalah Tuhan sendiri, bukan berarti dengan demikian Yesus mengabaikan tanggungjawab-Nya sebagai seorang anak dalam keluarga dan kasih-Nya kepada saudara-saudara-Nya. Hal ini nampak dari apa yang Ia lakukan di saat Ia berusia dua belas tahun di Bait Suci Yerusalem dan sesudahnya.
Seusai perayaan Paskah di Bait Suci di kota Yerusalem tersebut Yesus dengan sengaja tidak ikut pulang bersama Maria dan Yusuf ke Nasaret, namun tetap tinggal di Bait Suci selama tiga hari. Seperti yang dicatat di dalam Lukas 2:49-51 kepada kedua orang tua-Nya yang mencari diri-Nya Yesus berkata: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Di sini Ia menempatkan diri-Nya sebagai Sang Allah Putra, bukan sebagai anak Maria dan Yusuf. Namun sesudah itu Ia pun pulang bersama-sama Maria dan Yusuf ke Nazaret dan menempatkan diri dalam asihan mereka.
Sikap tak mengabaikan tanggungjawab-Nya sebagai seorang anak dalam keluarga Yusuf ini kembali Ia tunjukkan sesudah peristiwa mujizat di Kana. Walaupun Ia adalah Sang Mesias sebagaimana yang Ia tunjukkan di perjamuan kawin itu, bukan berarti sesudah itu Ia memutuskan hubungan dengan ibu dan saudara-saudara-Nya. Ia tetap menjalin keakraban dengan mereka. Di dalam Yohanes 2:12 dikatakan sesudah peristiwa itu Yesus pergi ke Kapernaum bersama ibu-Nya dan saudara-saudara-Nya.
Ayat ini memberikan dasar bagi kita untuk menduga bahwa saat itu Yusuf sudah meninggal dunia, sehingga di dalam pesta perkawinan di Kana Yusuf tak lagi disebut dan demikian juga saat Yesus melakukan perjalanan ke Kapernaum hanya ibu dan saudara-saudara-Nya yang pergi bersama Yesus. Lukas 2:7 menjelaskan bahwa Yesus adalah anak sulung dari Maria. Sebagai anak sulung sesudah Yusuf meninggal Yesus harus bertindak sebagai pemikul tanggungjawab utama dalam keluarga. Ia tak mengabaikan hal itu. Diajak-Nya ibu dan saudara-saudara-Nya pergi bersama dengan diri-Nya.
III. Sikap Yesus kepada para murid-Nya
Bukan hanya dengan Maria dan saudara-saudara-Nya saja Yesus menjalin keakraban, terhadap para murid-Nya Ia juga melakukan hal yang sama. Yohanes 2:12 sama sekali tidak memberikan penjelasan untuk apa Ia pergi ke Kapernaum dan tinggal beberapa hari di sana. Satu-satunya alasan yang logis adalah Ia mengunjungi keluarga dari para murid-Nya yang pertama, Andreas, Yohanes dan Petrus, yang sama-sama berasal dari kota Betsaida dan sama-sama bertempat tinggal di kota Kapernaum. Dari Kana, kota asal Natanael murid-Nya yang lain, sekarang Ia berkunjung ke keluarga Andreas, Yohanes dan Petrus.
Semua ini menunjukkan betapa Yesus membangun relasi pribadi yang akrab dengan para murid-Nya. Sebagai Sang Mesias yang adalah Tuhan Ia memperlakukan para murid-Nya seperti keluarga-Nya sendiri. Karena itu dengan sengaja dalam perjalanan ke Kapernaum Yesus mengajak keluarga-Nya dan para murid-Nya untuk berjalan bersama-sama. Ia tidak sekedar menjalin hubungan yang formal dan apalagi berjarak dengan para murid-Nya, namun Ia menjalin hubungan yang bersifat pribadi.
Saudara-saudari, keseimbangan relasi yang dicontohkan oleh Yesus ini sangat patut kita teladani. Ia bukan hanya mementingkan relasi-Nya dengan keberadaan-Nya sebagai Sang Mesias dan dengan demikian mengabaikan relasi-Nya dengan keluarga dan mengambil jarak dengan para murid-Nya. Tidak. Yesus tahu kapan ia harus mendahulukan tanggungjawab-Nya sebagai Sang Mesias, dan kapan Ia harus menjalankan tanggungjawab-Nya di dalam keluarga-Nya dan kapan Ia harus membangun relasi yang akrab dengan para murid-Nya. Sebagaimana Yesus, dalam melaksanakan tanggungjawab karier maupun pelayanan kita tak boleh melalaikan tanggungjawab kita dalam keluarga serta mengabaikan pentingnya membangun relasi dengan sesama saudara seiman. Justru dengan membangun keseimbangan yang sehat dalam relasi antara karier, pelayanan, keluarga dan para sahabat kita akan membangun kehidupan yang sehat, kehidupan yang bahagia, kehidupan yang bermakna. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar